Lalu kami pun makan bersama, Kami duduk di pojok sebuah kedai makan sederhana, tak jauh dari café tempat drama tadi terjadi. Meja kayu berlapis kaca buram, penerangan seadanya dari lampu bohlam yang digantung rendah, membuat suasana terasa... tenang, hampir hangat.
Rita duduk di depanku, tangannya memutar-mutar sendok di atas es jeruk. Ia belum banyak bicara sejak kami keluar dari café.
Aku juga. Karena jujur... aku masih memproses semuanya.
> "Maaf," kata Rita tiba-tiba.
Aku menatapnya. "Kenapa minta maaf?"
> "Karena menciptakan badai di hadapan orang-orang. Karena menyentuhmu tanpa... izin penuh."
Aku menggeleng. "Aku yang harusnya minta maaf. Aku gak bisa ngelindungi diriku sendiri. Malah kamu yang turun tangan."
Rita tersenyum tipis.
> "Kamu tahu, Raksa. Hidup ini kadang gak adil. Tapi aku benci kalau ada yang diam saja saat keadilan diinjak."
Aku diam.
Lalu, dengan sedikit ragu, aku buka suara.
> "Feby itu... dulu teman sekolahku. Waktu aku masih kurus, jelek, gak punya siapa-siapa."
> "Dia sering ngejek kamu?" tanya Rita.
> "Enggak langsung. Tapi kata-katanya... tatapannya... itu cukup buat ngerusak harga diri selama bertahun-tahun."
Rita menggenggam tanganku di atas meja.
> "Dan kamu masih suka dia?"
Pertanyaan itu datang begitu pelan, tapi menembus jauh.
Aku terdiam sejenak, menatap genggaman tangannya, lalu wajahnya. Matanya tidak menuntut. Hanya ingin tahu.
> "Entahlah. Mungkin bukan suka. Lebih ke... dendam. Aku ingin dia lihat aku sekarang. Bahwa aku bukan cowok yang pantas diremehkan."
> "Itu alasanmu jalani semua ini? Karena luka dari masa lalu?"
Aku mengangguk.
> "Dan karena itu… kamu menyerahkan dirimu ke sistem?"
Deg.
"Dalam pikirku : kenapa dia tau tentang sistem yang kudapatkan??"
Aku menatap Rita, waspada. Meski tak mengucapkan isi pikiran ku.
> "Aku gak tahu kamu bicara soal apa."
Rita menunduk sebentar, lalu menatap lagi. Wajahnya lembut. Tapi matanya… menyimpan sesuatu.
> "Aku gak tahu secara detail. Tapi aku bisa rasa… kamu berbeda. Kamu kadang menatap wanita bukan dengan mata laki-laki biasa. Tapi seperti sedang membaca."
Aku menahan napas. Jantungku berdetak lebih cepat.
---
# [SISTEM: TARGET MENGALAMI INTUISI TINGKAT TINGGI]
# [Pilihan Sistem Tersedia: Buka Sebagian Kebenaran / Mengalihkan]
---
> "Aku… memang sedang berusaha jadi laki-laki yang lebih baik," kataku akhirnya. "Dan kalau ada sesuatu yang bantu aku ke arah sana… apakah itu salah?"
Rita diam sejenak, lalu tersenyum. Tapi bukan senyum puas—lebih ke... iba.
> "Tidak salah. Asal kamu tahu apa yang sedang kamu pertaruhkan."
Ia lalu berdiri, duduk di sebelahku. Suasana kedai cukup sepi. Hanya ada satu bapak tua di meja lain, sibuk dengan nasi gorengnya.
Rita menatapku dari jarak dekat.
> "Kalau aku jatuh cinta padamu, Raksa… itu karena aku memilih. Bukan karena kamu punya sistem, atau strategi."
Aku nyaris tak percaya apa yang baru saja ia katakan.
> "Aku gak minta kamu membalasnya sekarang. Tapi… aku gak akan lari, kalau kamu jatuh."
Tanganku bergerak tanpa sadar, menyentuh pipinya. Hangat.
Ia tidak mundur.
Aku menatap matanya.
> "Rita… aku gak tahu apa yang terjadi di antara kita. Tapi satu hal yang aku yakin…"
Aku mencium bibirnya.
Lembut.
Dia membalas.
Tidak tergesa. Tidak dengan api nafsu. Tapi dengan kesungguhan seorang wanita yang mungkin sudah terlalu lama menahan kasih sayang.
---
# [SISTEM: STATUS "RITA – TERHUBUNG SEUTUHNYA"]
# [EMOSI STABIL + KEDEKATAN MAKSIMAL]
# [Skill "Harmoni Harem" – AKTIF PENUH]
---
Saat kami melepaskan ciuman, Rita menyandarkan kepalanya di bahuku.
> "Aku gak peduli kamu siapa di masa lalu. Yang penting, kamu bukan mainan. Dan kamu… bukan milik siapapun kecuali pilihanmu sendiri."
Aku menggenggam tangannya.
> "Mungkin kamu adalah alasan kenapa aku harus berhenti balas dendam."
> "Atau," katanya lembut, "kamu hanya perlu satu orang yang benar-benar ingin kamu bahagiakan."
---
Sementara itu di cafe,
Feby berdiri mematung di balik kaca café.
Napasnya cepat, dada naik-turun. Tangan kanannya mencengkeram gagang pintu, tapi tak bergerak keluar. Matanya terpaku pada ingatan, punggung Rita yang perlahan menggandeng Raksa turun tangga café.
Orang-orang di sekitarnya sudah kembali ke obrolan masing-masing. Beberapa masih membahas kejadian tadi, sebagian lagi mengabaikannya seolah hanya drama remeh di antara segelas kopi dan senja kota.
Tapi bagi Feby, itu bukan drama. Itu penghinaan pribadi.
> "Dia... milikku," gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar.
Ia kembali ke kursinya, mengambil ponsel, dan membuka galeri foto. Beberapa potret Raksa — dari jarak jauh, dari warung kopi, dari kampus — semua tersimpan rapi. Bukti diam dari permainan panjangnya.
Ia menghapus satu. Tapi tidak yang lain.
Lalu membuka catatan:
Target:
1. Buka aib kurir rendahan ini.
2. Pancing Rita untuk merasa dia hanya dimanfaatkan.
3. Pastikan Raksa jatuh lagi… lebih dalam.
Tangannya gemetar. Tapi bukan karena takut—melainkan karena marah.
> "Berani-beraninya dia membuatku terlihat seperti orang bodoh... di depan semua orang," bisiknya.
---
> "Kurir sialan," desisnya.
> "Dulu kamu datang padaku dengan mata berbinar. Minta perhatian. Minta diakui. Sekarang... kamu bahkan berani menatapku seolah aku bukan siapa-siapa?"
> "Oke, Raksa. Mari kita lihat... seberapa kuat kamu bermain... kalau aku mulai main kotor."
---
Sementara itu...
Raksa duduk di atas motornya, masih di parkiran kedai makan. Rita menyandarkan kepala di bahunya, dengan senyum lelah tapi bahagia.
> "Malam ini aneh ya," katanya.
> "Iya. Tapi… mungkin ini malam terbaikku sejak lama."
Raksa tak sadar… dari kejauhan, sepasang mata memperhatikan mereka dari balik kemudi mobil.
Feby.
Dengan senyum setipis silet, ia menyalakan mesin mobilnya.
> "Kamu baru saja menampar orang yang... belum pernah kalah."
---
Lokasi: Kantin kampus / sekolah tempat Feby biasa nongkrong
Siang itu kantin lebih ramai dari biasanya. Bukan karena diskon mie ayam, tapi karena gosip panas yang sudah tersebar lebih cepat daripada notifikasi di ponsel.
Beberapa teman Feby duduk melingkar di meja panjang, wajah-wajah mereka penuh semangat… dan rasa ingin tahu yang kelebihan dosis.
> "Eh, eh… lo liat gak semalam? Di rooftop!"
> "Gue ada, sumpah! Itu cowok kurir—siapa sih namanya? Raksa, ya?—diselamatin langsung sama Bu Rita!"
> "Anjir, fix itu sugar mommy-nya!"
Tawa meledak. Beberapa ada yang cuma nyengir sambil cekikikan, sebagian lagi sibuk scroll video yang diam-diam direkam dari kejadian malam itu.
> "Lo lihat ekspresi Feby pas itu? Kaya... dicoret dari daftar pewaris tahta!"
Semua mata otomatis melirik ke Feby yang duduk beberapa meja dari mereka, pura-pura sibuk dengan es kopi.
Wajahnya... datar. Tapi sorot matanya seperti silet yang diasah di atas batu sabar.
> "Udahlah, mungkin Bu Rita cuma lagi... kesepian," kata salah satu cewek mencoba meredakan gosip, tapi malah menambah bensin ke api.
> "Atau jangan-jangan si Raksa itu emang cowok bayarannya Bu Rita?"
> "Bisa jadi! Gue denger, sekarang banyak loh yang model beginian. Cuma kelihatan sopan di luar, padahal..."
> "Tapi ganteng sih sekarang," celetuk satu lagi. "Dulu si Raksa itu kan... kurus, item, pendiem. Sekarang jadi punya aura gitu."
Tawa kecil kembali terdengar.
Feby mengepalkan tangan di bawah meja. Kukunya menancap ke telapak. Tapi dia tersenyum paksa, lalu menoleh.
> "Lo semua terlalu lebay. Itu cuma drama kelas murah. Bu Rita pasti kasihan, yaudah… nolongin dia."
> "Oh?" Salah satu cowok menyenggol temannya. "Berarti kamu nggak ada rasa?"
> "Dia kan dulu suka kamu katanya," celetuk yang lain. "Sekarang dia udah move on, malah ke Bu Rita. Gimana tuh rasanya?"
> "Kayak dikasih permen, eh malah diambil guru BK," bisik yang lain, dan tawa pun pecah lagi.
Feby berdiri, membanting sedotan ke nampan.
> "Dia bukan siapa-siapa."
> "Tapi lo yang kelihatan kayak kehilangan sesuatu," gumam temannya pelan.
Feby berjalan menjauh, melewati lorong sekolah dengan napas berat.
---
> "Kalau dunia lebih pilih dia daripada aku…" bisik Feby sendiri.
> "Berarti dunia juga layak aku permainkan."
---
Lokasi: Kamar Feby – malam hari
Feby berbaring di kasur, lampu kamar remang. Ia menatap layar ponselnya dengan sorot mata kosong… lalu mengetik.
Jarinya cepat menyusun kalimat pendek di Instagram Story.
> 🕷️ "Gak semua wanita tua pantas dikasihani. Beberapa cuma haus perhatian aja. 😂✌️"
Lalu unggahan kedua:
> 📦 "Kurir zaman sekarang banyak gaya. Sok cool. Padahal cuma numpang hidup dari simpati tante-tante kesepian."
Dikirim.
Seketika, notifikasi mulai berdatangan.
💬 @wulan.glam:
> "Ups, nyindir siapa tuh? 🙊"
💬 @rizky_12:
> "Waduh… jangan-jangan curhat ya?"
💬 @fitrya__:
> "Lah bukannya kamu yang dulu gandeng dia di rooftop? 🤔"
💬 @irfan_xoxo:
> "Kalau gak suka kenapa peluk dia kemarin?"
😂😂😂
💬 @andibosen_:
> "Fix yang nyesel bukan dia sih. 🫣"
Feby menggulir notifikasi satu per satu, wajahnya makin muram.
Notifikasi terakhir muncul dari akun tak dikenal:
💬 @anonkurir_:
> "Sakit hati ya, karena mainanmu punya hati juga?"
Tangannya mencengkeram ponsel. Mulutnya mengatup keras. Napasnya mulai berat.
---
Feby membanting ponselnya ke kasur. Ia berdiri, berjalan mondar-mandir di kamar.
> "Kenapa malah aku yang jadi bahan lelucon?"
> "Aku yang punya panggung di sekolah ini…"
> "Aku yang harusnya diperebutkan, bukan ditinggalkan."
Ia berhenti di depan cermin. Menatap wajahnya sendiri.
> "Baik, Raksa. Kamu mau mainkan hatiku?"
> "Sekarang… aku yang akan mainkan semuanya."
---