Cherreads

Chapter 11 - Sarapan Pagi yang Beda

Pagi ini, cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah gorden ruang tamu rumah Rita. Aromanya sudah berbeda. Bukan karena sabun cuci piring, atau kopi sachet yang biasa kubawa sendiri, tapi… karena ini rumah orang yang membuat detak jantungku tidak berjalan wajar sejak kemarin.

Aku duduk di kursi makan, mengenakan kaus hitam dan celana training pinjaman Rita. Di depanku, ada sepiring nasi goreng dengan telur dadar yang digoreng setengah matang—bau bawangnya kuat, tapi menggoda. Di hadapanku, Rita—dengan kaus putih longgar dan celana pendek kain—terlihat seperti bukan janda… tapi wanita yang nyaman dengan rumahnya sendiri. Dan denganku, pagi ini.

> "Kalau kamu bisa tahu isi hati cewek," katanya tiba-tiba, "kamu bakal pakai buat apa?"

U

Aku berhenti mengunyah. Tanganku menggenggam sendok yang masih penuh nasi goreng. Aku menatapnya, mencoba menebak: pertanyaan iseng? Atau ujian?

> "Tergantung," jawabku hati-hati. "Kalau buat nyakitin, nggak akan aku pakai. Tapi kalau bisa buat mereka tenang… kenapa nggak?"

Rita tersenyum kecil, mengaduk-aduk teh manisnya.

> "Kamu selalu jawab kayak gitu, ya?"

> "Kayak gimana?"

> "Kayak lagi disidang."

Aku terkekeh pelan, pura-pura tersedak nasi. Tapi dalam hati, aku merasa aneh. Kenapa pertanyaan-pertanyaannya... terasa seperti diarahkan?

---

#[SISTEM: Respon emosional terdeteksi]

#[Kompatibilitas Mentor: 16%]

---

> "Kamu tahu kan," kata Rita, suaranya tenang tapi tegas. "Kalau pria nggak bisa ngerti perempuan... ya bakal dimainin terus."

> "Dan kalau terlalu ngerti?"

> "Bisa dimusuhi."

Aku diam.

> "Kadang... cewek butuh pria yang cukup bodoh buat jujur, tapi cukup peka buat ngerti isyarat."

Dia menatapku dalam. Sekilas, matanya seperti memindai. Seperti membaca pikiranku. Aku jadi salah tingkah, menyembunyikan reaksi dengan meneguk air putih cepat-cepat.

> "Tenang aja," katanya sambil berdiri membawa piring kosong ke wastafel. "Aku nggak lagi ngetes kamu kok…"

Tapi suaranya tidak sepenuhnya meyakinkan.

---

# [SISTEM: Pola pelatihan pasif terdeteksi]

# [Sinkronisasi sosial meningkat. Efek: Koneksi mentor +4%]

---

> "Kamu tahu, Raksa," katanya dari dapur, "pria yang bisa ngobrol itu… jauh lebih seksi daripada yang cuma jago merayu."

Aku mendongak.

> "Jadi... kamu ngajarin aku ngobrol, sekarang?"

> "Nggak. Aku cuma ngajarin kamu jadi lebih dari sekadar 'kurir paket'."

Aku tak tahu harus balas apa. Tapi... nasi goreng ini sekarang rasanya jauh lebih kompleks dari yang kubayangkan.

---

MC berdiri, membawa piring ke dapur, berdiri bersebelahan dengan Rita. Mereka tidak bicara banyak, tapi tubuh mereka hampir bersentuhan. Hening itu... bukan karena canggung. Tapi karena koneksi yang perlahan tumbuh—di luar sistem.

---

Matahari mulai naik ketika kami duduk di teras rumah Rita. Meja rotan kecil di antara kami dihiasi dua gelas es teh, satu kotak tisu, dan sebuah buku tipis tentang psikologi komunikasi. Anehnya, bukan aku yang bawa buku itu.

> "Coba kita latihan," kata Rita sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.

"Bayangin aku adalah cewek yang baru aja diselingkuhin. Sedih. Patah hati. Kamu harus bisa bikin aku merasa… dimengerti."

Aku memiringkan kepala.

> "Serius latihan gitu?"

> "Kalau kamu bisa ngobrol sama wanita yang hancur, kamu bisa ngobrol sama siapa aja."

Rasanya seperti tantangan. Tapi juga… jebakan.

> "Oke. Aku coba ya…"

Aku menarik napas, menatap Rita seperti benar-benar wanita yang baru saja dikhianati.

> "Aku tahu kamu ngerasa hancur. Tapi kamu nggak salah. Kadang orang yang salah datang ke hidup kita… buat ngasih pelajaran, bukan kebahagiaan."

Rita tersenyum tipis.

> "Bagus. Tapi kamu terlalu tenang. Kalau kamu terlalu rasional, cewek bisa merasa kamu... dingin."

Aku mengangguk.

> "Jadi, lebih lembut?"

> "Lebih… ikut ngerasain. Coba lagi."

Aku menunduk sebentar, lalu bicara dengan nada lebih lembut:

> "Kalau aku boleh jujur… aku gak suka ngeliat kamu kayak gini. Kamu orang baik. Dan kamu pantas disayang, bukan dihancurin."

Rita terdiam. Untuk beberapa detik, matanya seperti mengembun. Tapi ia cepat-cepat mengalihkan pandangan dan pura-pura tertawa.

> "Nah. Gitu dong. Sekarang kamu udah mulai ngerti."

---

# [SISTEM: Input Gaya Bicara Mentor Terdeteksi]

# [Adaptasi Sistem Pasif – Skill "Sugesti Verbal" meningkat 12%]

---

> "Tapi… kok kamu tahu cara ngajar kayak gitu?" tanyaku iseng.

Rita hanya mengangkat bahu.

> "Dulu aku pernah ngikutin pelatihan marketing. Jadi ngerti dikit soal bahasa emosi."

> "Marketing? Atau… pelatihan lain?"

Dia tertawa.

> "Kamu pikir aku agen rahasia?"

> "Nggak tahu. Soalnya kamu jago banget baca orang."

---

#[SISTEM: Kecurigaan MC meningkat. Level Kesadaran: 38%]

---

Rita berdiri, mengambil gelas teh yang mulai mencair.

> "Udah ya latihannya. Nanti kamu jadi terlalu pintar. Bahaya."

> "Bahaya kenapa?"

> "Soalnya… kalau semua cewek jatuh hati ke kamu, aku yang repot."

Kalimat itu seharusnya terdengar bercanda. Tapi kali ini, nada suaranya… terlalu tulus.

---

MC duduk sendiri di teras ketika Rita masuk ke dalam. Sinar matahari menyapu pipinya. Dalam hati, dia merasa ada yang aneh—antara latihan, kedekatan, dan rasa penasaran yang mulai berubah jadi… kekaguman.

---

Pukul enam pagi. Udara kota masih sejuk, dan jalanan kompleks belum ramai. Tapi detak jantungku sudah berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya — bukan karena lari, tapi karena jogging bareng seorang wanita bernama Rita.

> "Ayo, Raksa! Jangan kayak kardus basah!" serunya sambil berlari di depanku, rambutnya dikuncir ke atas, kaus olahraganya ketat tapi longgar di bagian pinggang. Celana legging-nya membentuk lekuk kaki yang kuat… dan menggoda iman.

Aku berusaha menyamakan langkah, meski paru-paruku sudah menjerit sejak menit keempat.

> "Kenapa… harus lari pagi… juga, sih?" aku terengah, menyeka peluh dari dahi.

> "Karena kamu gagal aktivasi skill stamina. Itu artinya… kamu lemah."

Aku tersentak.

> "Kok kamu tahu?"

> "Tahu dari mana?" senyumnya licik, seperti sengaja melemparkan bom ke kepalaku lalu pura-pura menari di atas puingnya.

> "Maksudku… eh, maksudku—" aku tergagap.

> "Udah. Nggak usah dipikirin. Yang penting sekarang, kamu harus kuat. Gimana mau jadi lelaki sejati kalau baru ciuman aja udah tepar?"

Aku menunduk malu.

---

#[SISTEM: Trigger Pelatihan Fisik Terdeteksi]

# [Progress Skill "Stamina" +7%]

---

Kami berhenti di taman kecil dekat danau. Nafasku belum stabil. Sementara Rita… masih santai, stretching seperti pelatih yoga yang baru pemanasan.

> "Sini. Duduk," katanya, menepuk bangku panjang dari beton.

Aku duduk di sebelahnya. Keringat mengalir di pelipis. Jantung masih menghentak. Tapi pikiranku… sibuk mencatat satu hal: Rita tahu terlalu banyak.

> "Raksa," katanya lembut. "Kamu tahu kenapa aku ngajak kamu lari?"

> "Biar stamina meningkat?"

> "Itu bagian kecilnya. Aku ngajak kamu lari… karena lari itu tentang mengendalikan napas. Tentang ritme tubuh. Tentang bagaimana kamu… mengontrol lonjakan yang muncul tiba-tiba."

> "Lonjakan?"

Dia menatapku, senyumnya samar.

> "Kamu ngerti maksudku."

Aku terdiam. Di kepalaku muncul adegan semalam — kami hampir menyentuh batas, tapi aku kalah. Bukan oleh Rita, tapi oleh diriku sendiri.

---

#[SISTEM: Emotional Resonance Detected]

#[Skill "Stamina" – Kemajuan Terhambat: 76%]

# [Rekomendasi: Latihan Kontrol Emosi & Tubuh]

---

> "Kamu masih muda, Raksa. Tapi kamu punya sesuatu yang jarang dipunya cowok lain."

> "Apa?"

> "Kamu mau belajar. Itu lebih seksi dari sekadar abs sixpack."

Aku nyaris tertawa, tapi pipiku malah memanas.

> "Tapi... kalau aku gagal terus?"

Rita menggeleng.

> "Kamu gagal... kalau kamu berhenti. Tapi kalau kamu tetap jalan, meski pelan—kamu nggak akan pernah kalah."

Dia berdiri, meraih tanganku, menarikku berdiri.

> "Besok, kita jogging lagi."

> "Setiap hari?"

> "Sampai kamu bisa nahan… semua ledakan dalam dirimu."

---

# [SISTEM: Sinkronisasi Mentor-MC Meningkat. Koneksi Emosional 61%]

#[Skill "Stamina" dalam Mode Latihan]

--

Saat kami berjalan pulang, Rita sesekali melirikku. Matanya penuh pertanyaan… atau mungkin ujian. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa bukan sekada target sistem — aku sedang dibentuk. Dipersiapkan untuk sesuatu yang lebih besar… dan lebih dalam.

---

Sore menjelang malam. Setelah sesi jogging pagi yang membakar stamina dan pikiran, aku duduk lemas di ruang tamu rumah Rita. Handuk kecil menempel di leher, kausku sudah basah oleh keringat yang belum sempat kering sempurna sejak siang.

Rita muncul dari dapur, membawa dua botol infused water.

> "Minum, biar gak dehidrasi."

> "Terima kasih," ujarku singkat.

Ia menatapku sejenak, lalu tersenyum.

> "Mau mandi?"

> "Maksudnya…?"

> "Kamu nggak keberatan kan mandi di sini? Biar badanmu rileks dulu. Besok kita mulai sesi latihan yang lebih serius."

Aku mengangguk pelan, sedikit kikuk.

> "Kamar mandinya yang biasa ya?"

> "Enggak. Pakai yang belakang aja. Air hangat, dan tempatnya… luas."

Aku menelan ludah.

> "Oke."

---

[Beberapa menit kemudian]

Air mengalir dari shower, hangat menyentuh kulit. Aku berdiri di bawahnya, mencoba fokus. Tapi suara pintu terbuka mengacaukan semua.

> Cklek…

Rita masuk, hanya mengenakan handuk tipis dan ekspresi tenang.

> "Tenang, aku cuma mau ambil sabun yang tertinggal."

Mataku melebar. Tapi aku tak bisa berpaling. Kulitnya basah, rambutnya sedikit terurai, dan langkahnya begitu ringan — seperti badai yang menyamar jadi gerimis.

Dia mendekat ke rak kecil, lalu menoleh padaku.

> "Kamu tegang."

> "Saya—"

> "Ini bagian dari pelatihan, Raksa."

Aku mematung.

> "Kontrol napas. Kontrol detak jantung. Jangan bereaksi terhadap semua rangsangan. Latihan ini... bukan buat gairah. Tapi buat ketenangan."

> "Saya... paham."

Dia mendekat, menyentuh bahuku dengan jari-jari hangatnya.

> "Sekarang... tutup mata."

Aku menurut.

> "Tarik napas..."

Aku mengikuti iramanya.

> "Bayangkan rasa ini. Rasa tertarik, malu, canggung. Rasakan... tapi jangan terbawa."

Aku mengangguk. Tapi jantungku seperti genderang perang.

---

[SISTEM: Latihan Kontrol Emosi Dalam Kondisi Tinggi]

[Skill "Stamina" – Kemajuan: 91%]

[Status: Hampir Aktif – Butuh Kontrol Mental Penuh]

---

Tiba-tiba… Rita memelukku dari belakang. Tubuhnya hangat. Nafasnya menyentuh tengkukku.

> "Kamu tahu kenapa aku bantu kamu?"

> "Karena… kamu percaya aku bisa berubah?"

> "Karena aku ingin kamu... siap menghadapi dunia ini, bukan cuma wanita-wanitanya."

Tanganku gemetar. Tapi aku tak berani bergerak. Karena jika aku kalah di sini…

semua usahaku hari ini sia-sia.

> "Kamu lulus ujian pertama."

Dia melepas pelukan perlahan, lalu berjalan ke arah pintu.

Tapi sebelum pergi, dia berbisik:

> "Kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan."

Pintu tertutup.

Aku masih berdiri, menggigil… tapi bukan karena suhu air.

--

Aku keluar dari kamar mandi dengan napas lega dan langkah baru. Bukan karena tubuhku bersih. Tapi karena... hari ini, aku telah mematahkan salah satu batas terpenting: batas dalam diriku sendiri.

---

More Chapters