Cherreads

Chapter 3 - Chapter 03: Bayangan Di Kota Terbakar

- lanjutan chapter 02 -

Matt melangkah ke dalam lingkaran cahaya. Udara langsung berubah dingin, menusuk tulangnya. Cahaya di sekelilingnya berkedip sebelum akhirnya lenyap, meninggalkannya berdiri di tengah kota yang hancur.

Bangunan tinggi menjulang tak utuh, dinding-dinding hangus, jalanan retak seperti pernah dilanda perang besar. Langitnya merah pekat, bukan seperti matahari terbenam—lebih seperti dunia sedang terbakar dari dalam.

Matt menutup hidungnya, udara di sini berbau besi dan asap.

"Apa tempat ini... bagian dari duniaku juga?" gumamnya.

Tiba-tiba, suara langkah kaki berat terdengar dari kejauhan. Matt bersiap. Dari balik reruntuhan, muncullah sosok pria tinggi mengenakan jubah hitam dengan wajah tertutup topeng retak. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat panjang dengan ujung bercahaya biru.

"Kau akhirnya datang, Shadow."

Suaranya berat, bergaung seperti gema dalam gua kosong. - ???

"Jangan panggil aku itu," balas Matt.

"Aku tidak tahu siapa Shadow dan aku tidak ingat pernah menciptakanmu."

Pria bertopeng itu tertawa kecil.

"Lalu mengapa kau merasa takut saat mendengar nama itu?" - Pria bertopeng

Matt terdiam. Pertanyaan itu memukul sesuatu di dalam dirinya—sebuah ketidaknyamanan yang belum punya nama.

"Apa yang kau inginkan dariku?" - Matt Watson

Pria itu mengangkat tongkatnya. Cahaya biru di ujungnya menyala lebih terang, memperlihatkan simbol-simbol aneh di udara.

"Aku di sini bukan untuk mengambil, tapi untuk menguji." - Pria bertopeng

"Menguji apa?" - Matt Watson

"Apakah dirimu saat ini… cukup pintar untuk menghadapi dirimu yang sebenarnya." - Pria bertopeng

Tiba-tiba tanah bergetar. Dari balik reruntuhan bangunan, muncul sosok lain… menyerupai Matt. Sama persis—kecuali matanya yang hitam sepenuhnya, dan senyum sinis yang membeku di wajahnya.

"Apa-apaan ini..." Matt mundur satu langkah.

Pria bertopeng itu menunjuk ke sosok tersebut.

"Itu adalah kamu. Kamu yang mengubur semua kebenaran demi menjadi Matt Watson." - Pria bertopeng

Matt terpaku.

Bayangan dirinya melangkah maju, tangan terulur seperti cermin yang hidup.

"Mari lihat… siapa di antara kita yang pantas melanjutkan dunia ini." - Matt Versi Bayangan

Bayangan Matt menghentikan langkahnya. Pria bertopeng mengangkat tongkatnya ke langit. Tiba-tiba, tanah di hadapan mereka terbelah membentuk sebuah arena batu. Di tengahnya berdiri papan catur raksasa yang terbuat dari ubin hitam-putih mengilap. Di sekelilingnya, pilar-pilar batu menjulang, dan di setiap pilar tergantung manusia dengan leher terikat tali.

Matt membeku ketika matanya menangkap wajah-wajah itu—laki-laki, perempuan, tua, muda… dan bahkan anak-anak. Mereka masih hidup, matanya bergerak, sebagian menangis tanpa suara. Tali yang menggantung mereka dihubungkan ke sebuah sistem katrol yang aneh di sisi arena.

Pria bertopeng itu melangkah maju dan berdiri di sisi papan catur.

"Permainan ini sederhana," ujarnya dengan nada datar.

"Sama seperti dunia yang kau buat. Logika, pengorbanan, dan tak ada ruang untuk belas kasihan." - Pria Bertopeng

Dia menunjuk ke papan catur.

"Setiap bidak yang kau miliki, terhubung pada satu nyawa yang tergantung di pilar. Jika bidakmu dimakan lawan, maka nyawa itu akan lenyap. Mati." - Pria Bertopeng

Matt menoleh cepat ke sisi kanan arena. Di sana, semacam alat mekanik berdetak pelan. Di ujungnya, pengait terhubung ke tali.

"Kau tidak serius..." bisiknya.

Pria bertopeng mengangguk.

"Aku tidak bermain-main, Shadow. Ini adalah ujiannya. Bukan tentang seberapa baik kau bermain catur, tapi seberapa jauh kau rela mengorbankan orang lain… demi kemenanganmu." - Pria Bertopeng

Matt menoleh ke arah dirinya yang lain—bayangan Matt yang kini berdiri di seberang papan. Ia tersenyum, tampak lebih santai, seolah sudah tahu betul permainan ini.

"Kau siap, Matt Watson?" tanya pria bertopeng.

"Satu langkah, satu nyawa."

Matt menatap papan catur. Tangannya gemetar.

"Kalau aku tak bermain?" - Matt Watson

"Mereka semua akan mati." - Pria Bertopwng

Diam. Hanya suara rantai bergesek dan napas tertahan para sandera.

Bayangan Matt meletakkan pion ke depan dua langkah. Gerakan pertama telah dilakukan.

Sebuah klik terdengar. Salah satu tali penggantung menjadi lebih tegang. Seorang pria tua mulai mengerang perlahan.

Matt menarik napas dalam-dalam.

"Tuhan... ampuni aku."

Lalu dia menjawab langkah itu.

Permainan dimulai.

Matt menatap papan itu seperti menatap lubang neraka. Bayangannya duduk tenang di sisi seberang, matanya tajam, tangannya terlipat seperti sudah hafal setiap langkah yang akan ia ambil.

Langkah demi langkah dimainkan.

Pion dikorbankan.

Kuda diambil.

Klik.

Terdengar jeritan pendek dari sisi kanan Matt.

Seorang pria dewasa meronta-ronta saat tali di lehernya terangkat. Beberapa detik kemudian, tubuhnya tergantung lemas.

Mati.

Matt terpaku. Wajahnya pucat.

“Kenapa aku... kenapa dunia ini...” gumamnya.

"Kau menciptakan ini, Shadow," ucap pria bertopeng dingin.

"Setiap bagian dari permainan ini berasal dari pikiranmu. Kami hanya menjalankannya." - Pria bertopeng

"Aku tak pernah membayangkan permainan sekejam ini!" bentak Matt.

Bayangannya tertawa.

"Kau pikir imajinasimu tak punya sisi gelap, Matt? Dunia ini bukan sekadar bunga dan langit biru. Ini bayangan dari dirimu yang paling dalam." - Bayangan Matt

Langkah terus berjalan.

Ratu hitam maju.

Pion putih dikorbankan lagi.

Klik.

Kali ini seorang anak perempuan menangis pelan sebelum tubuhnya terangkat pelan ke udara. Matt terhenyak, berdiri.

"BERHENTI!" teriak Matt

Pria bertopeng tetap diam. Bayangan Matt menatapnya tajam.

"Kau berhenti? Maka semua mereka mati sekarang." - Pria Bertopeng

Sebuah layar di belakang arena menyala, menunjukkan detak waktu mundur. 00:09:58.

"Sepuluh menit. Jika tidak selesai sebelum waktu habis, seluruh nyawa akan dihukum mati sebagai kegagalanmu." - Pria Bertopeng

Matt mengepalkan tangan.

"Tidak… aku harus berpikir. Aku harus mencari celah." - Matt Watson

Mata Matt menelusuri posisi bidak. Ia mulai menyadari satu hal: setiap kali bayangannya menyerang, ia selalu memilih langkah terganas, paling mematikan. Bukan langkah terbaik untuk menang. Hanya untuk membunuh.

“Dia bukan bermain untuk menang… dia bermain untuk membuatku kehilangan kendali,” pikir Matt.

Ia menarik napas.

Lalu memindahkan gajahnya, bukan untuk melindungi bidak, tapi untuk membuka skema yang lebih besar. Sebuah jebakan tiga langkah.

Bayangan Matt menyipit.

Ia sadar… Matt mulai menyusun strategi.

“Mari kita lihat, bayanganku… siapa yang lebih mengenal dunia ini: kau, atau aku.” - Matt Watson

00:05:42

Matt menatap papan. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena tekad—ia mulai memahami ritme permainan.

Bayangannya melangkah cepat, mengambil satu per satu bidak Matt, seolah sengaja mendorongnya ke sudut sempit.

Klik.

Dua nyawa melayang bersamaan.

Seorang pria dan anak laki-laki terangkat dari gantungan. Mata Matt nyaris tak berkedip, tapi jantungnya memukul keras dadanya.

“Bermain bersih tak akan membawamu ke mana-mana, Shadow. Kau harus mengorbankan sesuatu,” bisik si Bayangan Matt.

Matt mencengkeram sisi meja. Ia tak menjawab. Namun matanya kini mengarah ke kuda yang tersisa. Sebuah ide muncul.

Langkah berikutnya mengagetkan semua orang—Matt mengorbankan ratunya sendiri.

Bayangan Matt terdiam sejenak, ragu. Tapi tetap mengambilnya dengan senyuman bengis.

Klik.

Jeritan perempuan terdengar.

Namun tepat setelah itu, langkah Matt berikutnya membuka jalan langsung ke skakmat dalam dua giliran.

00:01:09

Bayangan itu menegang.

“Apa…?!”

Ia tak punya cukup langkah untuk menyelamatkan raja.

Matt berdiri perlahan. Menatap lawannya—dirinya sendiri.

“Kau hanya tahu menghancurkan. Tapi aku juga tahu bagaimana menyelamatkan.”

Ia menggerakkan langkah terakhirnya.

Skakmat.

00:00:12

Semua tergantung diam. Sunyi.

Lalu, seutas demi seutas tali mulai terlepas.

Orang-orang—termasuk anak-anak—jatuh ke tanah, masih hidup, mengerang lemah tapi selamat.

Pria bertopeng melangkah maju perlahan.

“Menarik… kau tak mengikuti pola yang biasa. Bahkan dalam tekanan…”

“Aku tidak akan membiarkan dunia ini menjadi penjara,” balas Matt datar.

Pria bertopeng menatapnya dalam.

“Kau sudah siap, Shadow. Maka dunia selanjutnya akan membawamu pada siapa sebenarnya dirimu…”

Dengan petikan jari, papan catur lenyap.

Bayangan Matt pun memudar, menyisakan suara bisikannya.

“Kau pikir ini akhir, Matt Watson? Ini baru awal dari ingatan yang kau kubur dalam.” - Bayangan Matt

Namun saat sosok itu benar-benar hilang, satu suara bergema di kepala Matt—bukan suara orang lain, tapi seakan berasal dari dalam dirinya sendiri.

"Bayangan itu... dia bukan aku." Bisik Matt

Seketika, potongan-potongan ingatan yang tak pernah ia miliki mulai muncul—fragmen dunia yang serupa tapi tak sama. Sebuah perasaan asing namun akrab menyeruak.

Bayangan itu... bukan wujud asliku.

Dia adalah aku yang gagal. Versi yang lahir sebelum aku—yang tidak mampu keluar dari siklus dunia ini.

Ia adalah Matt Watson yang tak pernah menyelesaikan permainannya. Yang jatuh dalam perangkap dunia yang ia ciptakan sendiri, dan akhirnya menjadi bagian dari bayangannya sendiri.

Matt menggenggam ujung jubahnya. Pandangannya kini lebih tajam, lebih tenang.

"Aku bukan dia... dan aku akan memutus siklus ini." - Matt Watson

Segalanya kembali putih.

Dan saat cahaya memudar, Matt kini berdiri di hadapan sebuah rumah tua bergaya Victoria, terisolasi di tengah kabut.

Angin meniup pintu depan perlahan hingga terbuka, seolah mengundangnya masuk.

Matt berdiri terpaku di tengah ruangan. Langit-langit tinggi rumah itu dihiasi lampu gantung yang berayun pelan, seolah ada angin yang tidak terasa. Dinding-dindingnya dipenuhi lukisan usang, dan setiap bingkai seakan menatap balik padanya. Debu beterbangan di udara, dan aroma kayu tua yang lapuk menusuk hidungnya.

"Apa ini... tempat selanjutnya?" bisik Matt sambil berjalan menyusuri lorong panjang.

Suara detakan jam tua mengisi keheningan. Di ujung lorong, terdapat sebuah pintu merah darah yang tertutup rapat. Matt meraih gagangnya, tapi pintu itu tidak bergeming.

Tiba-tiba, suara musik piano bergema dari bawah tanah—pelan, namun penuh emosi. Ia menoleh ke tangga spiral kayu yang mengarah ke bawah. Setiap langkahnya menuruni tangga terasa seperti memasuki masa lalu yang asing, namun familiar.

Di ruang bawah tanah, ia menemukan sebuah piano tua dan sosok kecil duduk membelakanginya, memainkan melodi yang entah mengapa sangat dikenal.

"Siapa kamu?" tanya Matt, mendekat perlahan.

Anak itu berhenti bermain. Ia tidak menoleh. Hanya berkata, "Kau pernah menjanjikan aku akan pulang, Shadow." - ???

Nama itu lagi. Shadow.

"Aku bukan dia," kata Matt, meski hatinya meragukan.

Anak itu berdiri perlahan, masih membelakanginya. "Kau akan segera mengingat segalanya. Tapi untuk itu... kau harus membuka kembali yang telah dikunci." - ???

Matt mengerutkan alis. "Apa maksudmu?"

Anak itu menunduk, lalu menunjuk ke lukisan besar yang tergantung di dinding. Lukisan itu menggambarkan Matt duduk di meja makan bersama orang-orang yang wajahnya disamarkan kabut.

Dan tepat di tengah meja—sebuah cermin pecah.

Dengan sorot mata tajam, Matt mendekati lukisan itu. Kabut di wajah orang-orang dalam gambar terasa tidak wajar—seolah benar-benar bergerak, menghindari tatapan siapa pun yang mencoba melihat lebih dekat. Namun yang paling menarik perhatiannya adalah cermin pecah di tengah meja.

Matt meraih sisi bingkai lukisan dan merasakannya bergetar. Lalu… sebuah suara berbisik dari balik kanvas:

“Lihatlah… dan temukan bagian dirimu yang hilang.” - ???

Tiba-tiba, permukaan lukisan mencair seperti air. Tanpa sadar, Matt menyentuh cermin pecah itu—dan dalam sekejap, ia terhisap masuk.

Gelap. Hening.

Saat ia membuka mata, Matt berdiri di ruangan yang identik dengan lukisan tadi. Meja panjang. Kursi-kursi kosong. Kabut menggantung di udara. Tapi kali ini, semuanya nyata.

Di ujung meja, duduk seorang pria berjubah hitam dengan wajah tertutup masker porselen putih—pria bertopeng yang pernah ia temui dalam permainan catur.

"Selamat datang kembali, Shadow," katanya dengan suara dingin. "Kau hampir mencapai pusatnya." - Pria Berjubah

Matt melangkah maju. "Apa maksud semua ini? Kenapa wajah mereka tertutup kabut?"

Pria berjubah berdiri dan menjentikkan jarinya. Kabut dari wajah satu per satu orang mulai memudar—menampakkan wajah anak-anak, orang tua, dan dirinya sendiri… dalam berbagai usia dan versi.

"Kau tak hanya menciptakan dunia ini, Matt. Kau membaginya." - Pria Berjubah

"Bagian-bagian dari dirimu," lanjut pria bertopeng, "telah tersebar di berbagai versi realitas. Dunia ini adalah titik pertemuan—dan rumah Victoria ini adalah pusatnya." - Pria Berjubah

Matt menatap cermin pecah yang kini terletak di atas meja.

"Potongan ingatanmu, identitasmu, dan... pilihan yang pernah kau tolak—semuanya tersegel di dalam itu." - Pria Berjubah

Ia mendekat.

Dan dalam pantulan pecahan cermin itu, untuk pertama kalinya… Matt melihat bayangan seseorang yang bukan dirinya, namun terasa sangat familiar—versi dirinya yang jauh lebih tua, dengan mata yang redup dan luka di pipi.

“Akan kau rangkai kembali dirimu... atau biarkan semua tetap terpecah?” - Pria Berjubah

"Aku masih belum begitu mengerti. Tapi... tunggu, bagaimana aku bisa menang bermain catur dengan versiku yang gagal sebelumnya?" – Matt Watson

"Bukankah itu ulahmu sendiri, Matt?" – Pria berjubah

"Ulahku sendiri? Apa maksudmu?" – tanya Matt dengan serius

"Apa kau tidak ingat kehidupanmu sebelumnya? Di sekolahmu pernah diadakan pertandingan catur, dan kau merasa iri karena pemenangnya adalah teman sekelasmu sendiri." – Pria berjubah

"Setelah jam sekolah selesai, kau pulang sambil berlari terbirit-birit menuju rumah. Kau masuk ke kamar, lalu berimajinasi sambil menangis." – Pria berjubah

"Apa... bagaimana kau bisa—argh, terserah!" – Matt Watson

"Kalau begitu, mari kita lanjutkan. Apa yang akan kau pilih? Merangkai kembali dirimu... atau membiarkan semuanya tetap terpecah?" – Pria berjubah

Matt belum sempat menjawab.

Tiba-tiba, retakan hitam menjalar di langit-langit ruangan putih itu, seperti akar pohon yang tumbuh terbalik. Suara retakannya menggetarkan dinding.

"Mereka datang..." – Pria berjubah menatap ke atas.

Matt tersentak, tubuhnya mundur sedikit.

"mahluk apa itu..?" – Matt Watson

"Makhluk-makhluk yang kau ciptakan... karena stres yang kau pendam selama ini." – Pria berjubah

"Apa maksudmu...?" – Matt Watson

"Mereka disebut Stricter." – Pria berjubah

Dinding putih itu tiba-tiba hancur, debunya membubung, dan dari retakan itu muncullah makhluk-makhluk mengerikan: berwarna hitam legam, berbentuk seperti semut raksasa, berekor kalajengking, mata mereka bersinar layaknya laba-laba, dan tangan mereka—tajam seperti pisau.

"Kau harus pergi dari sini, Matt!" – Pria berjubah berteriak sambil menunjuk ke arah sebuah pintu yang tiba-tiba muncul di sisi ruangan.

"Pergilah lewat pintu itu, itu akan membawamu keluar dari sini!" - Pria berjubah

"Tapi... bagaimana denganmu?" – Matt Watson

"Mereka tidak mengincarku, Matt. Mereka mengincarmu." – Pria berjubah berkata dengan tenang.

"Cepat! Aku akan menghalangi makhluk-makhluk menjijikkan ini!"

"Ah, sial!" – Matt Watson

Tanpa pikir panjang lagi, Matt berlari sekuat tenaga menuju pintu itu—dan tepat saat dia menyentuh gagangnya, suara raungan Stricter menggema di belakangnya.

Matt pun membuka pintu itu dan menghilang ke dalam cahaya.

Matt melangkah keluar dari pintu yang dipenuhi cahaya… dan mendapati dirinya berdiri di tengah guyuran hujan deras. Suara gemuruh petir memekakkan telinga, angin menusuk kulit, dan dunia di sekitarnya tampak suram dan kacau. Tanah berlumpur di bawah kakinya membuat setiap langkah terasa berat.

Namun tanpa berpikir panjang, Matt berlari. Entah kenapa, nalurinya menyuruhnya menjauh dari tempat itu. Dia menerobos rimbunnya pepohonan, hujan membasahi seluruh tubuhnya, matanya menyipit mencoba menembus kabut yang menggantung di antara batang-batang pohon tinggi.

Tiba-tiba tanah di bawah kakinya licin. Dia menginjak akar pohon yang tersembunyi oleh lumpur, lalu—

"AARGH!" - Matt Watson

Tubuhnya terpeleset dan meluncur menuruni lereng curam, tak mampu menghentikan lajunya. Dedaunan dan ranting-ranting tajam menyayat kulitnya, dunia tampak berputar. Hingga akhirnya—

BRUKK!!

Matt jatuh ke dasar jurang yang penuh lumpur dan bebatuan kecil. Tubuhnya tergeletak diam beberapa saat. Nafasnya terengah, pandangannya kabur. Hujan masih terus turun, membasahi wajah dan tubuhnya yang terluka.

Dia mencoba bangkit, tapi tubuhnya menolak.

"Ugh... sial..." – desisnya pelan, menahan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuh.

Matt membuka matanya perlahan. Hujan masih turun deras dari atas jurang. Nafasnya berat, tubuhnya gemetar. Saat ia mengangkat kepala, matanya menangkap sesuatu di kejauhan—sebuah goa besar, gelap, dan tampak seolah memanggilnya.

Dengan sisa tenaga, ia menyeret tubuhnya pelan. Kakinya terasa nyeri luar biasa, mungkin terkilir atau bahkan patah. Tapi ia tidak punya pilihan. Di balik derasnya hujan dan ancaman para makhluk yang disebut Stricter, tempat itu satu-satunya perlindungan.

“Sedikit lagi…” gumamnya, menggigit bibir menahan sakit.

Tangannya mengais tanah basah, merangkak perlahan. Setiap gerakan menggores luka-luka di tubuhnya, namun ia terus maju. Dingin mulai merayap dari kulit hingga tulang. Sesekali ia tergelincir di lumpur, tapi tekadnya mendorongnya untuk terus merayap masuk.

Akhirnya, ia mencapai mulut goa.

Begitu melewati batas batu gelap itu, hawa di dalam terasa berbeda. Lebih hangat… tapi juga jauh lebih sunyi. Tak ada suara hujan, hanya gema napasnya sendiri dan tetesan air dari sela-sela dinding goa.

Matt bersandar di salah satu sisi batu dalam, tubuhnya bergetar hebat. Dia menatap keluar, hujan turun tanpa ampun. Tapi setidaknya… dia selamat, untuk sementara.

“Apa-apaan dunia ini…” desisnya lemah, sebelum akhirnya matanya mulai tertutup karena kelelahan.

Setelah berhasil menyeret tubuhnya masuk ke dalam goa, Matt akhirnya tak sanggup lagi menahan rasa sakit dan dingin yang menusuk. Napasnya tersengal, pandangannya kabur, dan tubuhnya gemetar hebat.

Ia bersandar di dinding batu, mencoba tetap sadar, namun dunia di sekitarnya mulai berputar. Suara hujan perlahan menghilang, tergantikan oleh dengungan samar yang entah dari mana asalnya.

“Aku... harus... bertahan…” bisiknya Matt dengan lemah.

Namun tubuhnya sudah tak lagi menurut. Kelopak matanya tertutup perlahan.

Gelap.

Matt terbaring lemas di tanah yang dingin. Nafasnya pelan namun masih ada. Dalam ketidaksadarannya, pikirannya mulai melayang—menuju tempat lain.

Sebuah tempat yang bukan dunia nyata.

Tempat yang samar, tempat yang ia pernah ciptakan, atau... tempat yang ingin melahap jiwanya.

- To Be Continue -

More Chapters