- Lanjutan Chapter 01 -
Aku masih duduk di kasur biruku, diam. Dunia ini tetap seperti sebelumnya—damai, tenang, tak berubah. Tapi dadaku tak tenang. Seakan dunia ini hanya menutupi luka yang baru saja terbuka. Aku mencoba berdiri, tapi lututku gemetar. Aku menatap tanganku sendiri… berharap mereka bisa memberiku jawaban.
"Apa aku masih bermimpi... atau ini semua bagian dari mimpi yang lebih dalam?" - Matt Watson
Langit tetap biru pucat, seperti kanvas yang belum dilukis sepenuhnya. Tapi ada sesuatu yang berubah. Aku bisa merasakannya. Tidak terlihat, tapi terasa seperti tekanan... seperti seseorang menatap dari balik tirai tak terlihat.
Aku mulai melangkah. Tidak ke arah mana pun, karena arah tidak penting di dunia ini. Tapi langkahku membawa aku ke tempat yang tak asing—sebuah bukit kecil yang tumbuh perlahan, padahal aku yakin sebelumnya tidak ada.
Di puncaknya, aku melihat sesuatu berdiri.
Sebuah cermin.
Tegak lurus di tengah padang, tidak disangga apa pun, hanya berdiri sendiri di tanah. Bingkainya hitam pekat, tidak mencerminkan cahaya. Dan yang paling aneh—cerminnya... tidak memantulkan diriku.
Aku berdiri di depannya.
Kosong.
Cermin itu tidak memperlihatkan siapa pun. Hanya gelap. Seolah menatap kekosongan yang lebih dalam daripada dunia ini sendiri. Dan saat aku hendak menyentuhnya... sesuatu bergerak di dalam bayangan.
Sebuah wajah.
Bukan wajahku. Tapi wajah seseorang—atau sesuatu—yang mengenakan wajahku.
Mata sosok itu kosong. Bibirnya menyeringai, tapi tidak bahagia. Dan saat aku mundur, cermin itu mulai retak… dari tengah, seperti jantung yang pecah. Suara pecahannya tak terdengar, tapi retakannya menjalar cepat, membentuk pola aneh… seperti tulisan.
Bukan huruf yang kukenal. Tapi aku mengerti artinya.
"Dia datang."
Mataku membelalak.
"Siapa... dia?" gumamku.
Tiba-tiba tanah di bawah kakiku bergetar. Tidak kuat, hanya samar—seperti napas yang dalam dari makhluk raksasa yang tertidur.
Aku menoleh ke langit, dan untuk pertama kalinya… aku melihatnya.
Sebuah retakan.
Di tengah udara kosong, di tengah langit biru pucat, ada celah halus. Seperti kaca yang akan pecah. Dari celah itu, keluar kilatan cahaya yang tidak alami. Cahaya itu tidak menyinari… melainkan menyerap. Menarik perhatian. Menarik rasa aman.
"Aku harus pergi dari sini," bisikku.
Tapi ke mana?
Ini duniaku, tapi sekarang aku merasa seperti tahanan. Duniaku yang dulu tunduk kini mengawasi. Menunggu. Menggoda.
Aku berbalik, dan kasur biruku… tidak ada.
Hanya rumput.
Dan dari jauh, samar-samar, aku mendengar suara. Bukan gema pikiranku. Bukan bisikan ciptaanku.
Suara anak kecil.
Tertawa.
Dan menangis… sekaligus.
Baik, mari kita lanjutkan Chapter 2 agar suasana misteriusnya makin dalam dan emosional. Kita akan eksplorasi lebih jauh suara anak kecil itu dan bagaimana Matt meresponsnya.
Langkahku berat. Aku tidak tahu arah mana yang benar, tapi suara itu menarikku seperti benang halus yang melilit perlahan ke dalam pikiranku. Suara tawa dan tangis yang saling bersahutan itu membuat bulu kudukku berdiri.
Aku menyusuri padang rumput yang kini tidak lagi sunyi. Angin bertiup, membawa aroma yang asing—seperti bau tanah basah setelah badai, tapi juga ada sesuatu yang tajam… seperti bau logam.
Tiba-tiba, aku melihatnya.
Seorang anak kecil berdiri membelakangiku, hanya beberapa meter jauhnya. Rambutnya keriting, acak-acakan. Ia mengenakan pakaian putih yang lusuh, dan tubuhnya terlalu kurus. Tangannya menggenggam sesuatu.
Aku tidak tahu dari mana dia datang. Tapi dia ada di sana, nyata.
Aku mendekat perlahan. "Hei..." suaraku hampir tak terdengar. "Kau... siapa?"
Anak itu tidak menjawab.
Dia justru mulai bersenandung—lagu yang tak kukenal, tapi entah bagaimana terasa familiar. Sebuah melodi pelan… seperti lagu pengantar tidur yang berasal dari masa lalu yang sudah lama hilang.
Saat aku cukup dekat, aku melihat apa yang ia genggam.
Sebuah boneka. Usang. Matanya hanya satu. Dan anehnya, itu adalah boneka yang aku kenal.
Itu milikku.
Boneka yang dulu aku kubur di taman belakang rumah saat masih kecil, karena aku pikir ia “hidup” dan menatapku saat tidur.
“Apa ini… mimpi dari kenangan?” gumamku.
Anak itu perlahan menoleh.
Dan saat wajahnya menghadapku penuh… aku terdiam. Nafasku tercekat.
Itu… aku.
Wajahnya adalah wajahku saat berumur lima tahun.
Namun matanya kosong. Hitam sepenuhnya. Tidak ada putih, tidak ada kilau. Seolah-olah seluruh dunia telah mati di dalamnya.
"Lepaskan aku," kata anak itu… dengan suaraku sendiri.
"Apa maksudmu?"
"Ini bukan tempat kita. Ini bukan milik kita."
Tiba-tiba, dunia di sekelilingku mulai berubah. Rumput menjadi abu. Langit membiru semakin pekat hingga menjadi hitam. Cermin yang sebelumnya retak kini mulai menyerap cahaya dari sekeliling.
"Aku tidak tahu bagaimana caranya keluar!" teriakku, suaraku bergema aneh.
Anak itu menatapku lama. Lalu ia menunjuk ke dadaku.
“Dia sudah di sana. Sudah lama. Kau hanya baru menyadarinya sekarang.”
Seketika aku merasa sakit di dada—panas dan menekan. Seperti ada sesuatu yang berdenyut di balik kulitku sendiri. Aku terjatuh, dan saat aku menatap ke tanah, tanahnya mulai mencair… berubah seperti tinta hitam yang ingin menelanku.
Anak itu memudar… seperti kabut.
Tapi sebelum benar-benar lenyap, dia berkata satu kalimat terakhir:
"Ingat siapa kau sebelum dunia ini terbentuk."
Aku terengah, pandanganku kabur, suara anak kecil itu masih terngiang meski tubuhnya telah hilang seperti asap. Tapi kata-katanya menancap di pikiranku: “Ingat siapa kau sebelum dunia ini terbentuk.”
“Apa maksudmu?” teriakku ke kegelapan. “Aku adalah Matt!”
Langkahku gontai. Dunia di sekitarku kini tak punya bentuk—tanah hitam, langit tak berbintang, udara begitu tebal hingga sulit bernapas.
Aku menekan dadaku, merasakan denyut aneh yang bukan milikku.
“Aku Matt Watson!” teriakku lebih keras, seolah suara itu bisa mengusir kegelapan.
Tapi dunia tidak menggema. Ia menelan suaraku mentah-mentah.
Lalu… terdengar tawa pelan. Bukan suara anak kecil tadi. Bukan suara siapa pun yang kukenal. Lebih dalam, lebih tua, lebih... lelah.
Dan suara itu berkata, lirih namun jelas:
"Itulah yang mereka semua katakan pada awalnya." - ???
Bayangan mulai bermunculan di sekelilingku. Bentuk-bentuk samar yang tampak seperti manusia tapi tidak sepenuhnya. Mereka berbisik dalam bahasa yang tidak kumengerti, tapi satu kata terus terulang:
"Matt... Watson... bukan nama aslimu..." - ???
Aku menutup telingaku. Tapi suara itu kini datang dari dalam kepalaku sendiri.
Waktu... seolah dikoyak, dipilin, lalu dijahit ulang dengan benang yang tak terlihat. Dan dalam sekejap—semuanya kembali seperti semula.
Matt kembali duduk di atas kasur birunya.
Sunyi.
Angin lembut kembali berembus. Rumput hijau terhampar, langit biru pucat bersinar tanpa matahari. Tidak ada desa. Tidak ada lubang. Tidak ada suara-suara aneh. Dunia itu seperti di-reset. Seperti... semuanya hanya ilusi.
Matt memejamkan mata, mencoba menenangkan napasnya yang masih memburu. Tapi dada itu, hatinya, tahu sesuatu telah berubah.
"Aku kembali..." gumamnya lirih, seakan mencoba meyakinkan diri sendiri.
Tapi matanya mengarah ke tangannya sendiri. Jemarinya sedikit bergetar.
"Aku kembali..." ulangnya—kali ini lebih keras. Tapi tak ada yang menjawab.
Lalu—di luar kehendaknya—mulutnya bergerak, menggumamkan kata yang tidak dia sadari:
"Versi ke-13..." - ???
Dia terdiam. Suara itu... bukan miliknya. Tapi berasal dari dalam dirinya. Dalam-dalam sekali.
"Apa... maksudnya versi ke-13?" - Matt Watson
Kasur biru di bawahnya tak lagi terasa familiar. Rumput mulai terasa terlalu lembut, seolah bukan rumput, tapi ilusi dari memori yang diputar ulang terus-menerus. Dunia ini... bukan hanya ciptaannya. Dunia ini merekamnya. Dunia ini mengulangnya.
Matt bangkit berdiri perlahan. Di kejauhan, langit tampak bergoyang, seperti layar tipis yang nyaris robek. Dan dari balik goyangan itu, cahaya putih menyelinap—dingin, menyilaukan, asing.
Tiba-tiba, suara anak kecil terdengar di belakangnya. Pelan. Patah-patah.
"Kau sudah terlalu jauh, Matt..." - ???
Dia berbalik cepat.
Tak ada siapa pun.
"Sudah terlalu banyak versi dari dirimu." - ???
"Sudah waktunya kau tahu yang sebenarnya." - ???
Dan saat itu juga—dunia mulai bergetar. Bukan karena kehancuran, tapi... seperti sedang dibuka. Seperti rahasia besar akan keluar dari perutnya yang selama ini disembunyikan.
Tiba-tiba, dunia di sekeliling Matt berubah drastis. Semua warna, semua bentuk, semua suara... lenyap.
Yang tersisa hanya putih yang menyilaukan, membentang tanpa batas.
Di tengah kegelapan putih itu, hanya ada kasur biru Matt yang mengapung sendiri, dan Matt Watson yang berdiri di atasnya.
Suara berat dan tenang muncul dari ketiadaan.
"Aku akan memberitahumu tentang dunia yang kau buat, Matt." - ???
Matt berbalik, matanya menyipit mencari arah suara.
"Siapa kau?! Di mana aku berada?" tanya Matt dengan suara penuh curiga.
Sosok samar muncul dari balik putih yang tak berujung. Wajahnya gelap, bayangan hitam yang tak memiliki bentuk pasti.
"Aku adalah ciptaanmu, Tuan Shadow." - ???
Matt terkejut, langkahnya mundur pelan.
"Ciptaan ku? Apa maksudmu?" - Matt Watson
Bayangan itu bergeming.
"Aku tidak dapat menjelaskannya kepadamu untuk sekarang, tuan." - ???
Matt menekan dahinya, bingung dan frustrasi.
"Tapi tuan akan mengetahuinya nanti." - ???
Matt mengerutkan dahi, suaranya hampir memohon.
"Kapan aku menciptakanmu? Padahal dunia yang kuciptakan ini berbeda dari imajinasi yang kubuat sebelumnya. Jelaskan apa yang sedang terjadi pada dunia ini!" - Matt Watson
Bayangan hitam itu sedikit mendekat, suaranya pelan namun penuh keyakinan.
"Ini adalah dunia yang anda ciptakan sebelumnya, dari anda sebelum menjadi Matt Watson." - ???
Matt terdiam, matanya membelalak.
"Apa? Dari aku sebelum menjadi Matt Watson?" - Matt Watson
Bayangan itu mengangguk perlahan.
"Tepat sekali, tuan." - ???
Matt mengerutkan kening, suaranya penuh rasa ingin tahu.
"Tunggu, sebelumnya kau memanggilku Tuan Shadow, siapa Shadow?" - Matt Watson
Sosok bayangan itu menjawab dengan suara dalam dan tenang,
"Shadow adalah nama anda di dunia ini, tuan." - ???
Matt menatap bingung.
"Aku tidak dapat menjelaskan apa yang terjadi, tetapi dunia yang anda ciptakan sekarang akan merubah pikiran anda." - ???
Bayangan itu mulai menghilang perlahan, menyisakan suara terakhir yang dingin,
"Selamat tinggal, tuan." - ???
"He-hei, tunggu! Aku belum selesai berbicara!" seru Matt panik, tapi sudah terlambat.
Waktu berputar kembali, tetapi berbeda dari sebelumnya.
Matt tiba-tiba terbangun, tubuhnya bersandar di batang pohon besar yang rindang.
Dia berkedip-kedip, menyesuaikan matanya dengan cahaya sekitar.
"Ini... dimana aku?" gumamnya, suara masih lemah.
Dia mengusap-usap tubuhnya dan bertanya lagi dengan bingung,
"Aku bersandar di pohon ini?" - Matt Watson
Saat matanya menelusuri lingkungan, dia melihat sekeliling yang jauh lebih hidup daripada dunia sebelumnya.
Ada kelinci yang melompat-lompat di rerumputan, bebek berenang di sungai kecil yang mengalir tenang, dan suara burung-burung bernyanyi riang.
Semua tampak begitu normal, begitu nyata.
Di kejauhan, tampak sebuah jalan setapak dari batu yang membelah padang rumput dan mengarah ke sebuah desa kecil dengan rumah-rumah beratap jerami.
"Aku harus cari tahu di mana ini sebenarnya," katanya sambil mulai melangkah.
Saat berjalan, hewan-hewan yang tadi ia lihat tampak tidak takut padanya. Seekor kelinci bahkan sempat berhenti sejenak, menatap Matt dengan mata bening, seolah mengenalinya, lalu melompat pergi.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari semak-semak di depan. Matt refleks mundur setapak, berjaga-jaga.
Dari semak itu muncul seorang anak laki-laki kecil berambut putih keperakan, membawa tongkat kayu. Wajahnya datar, tapi matanya memancarkan kecerdasan.
"Kau akhirnya datang juga, Tuan Shadow," ucap anak itu tenang.
"Jangan panggil aku begitu! Namaku Matt Watson," tegas Matt.
Anak itu menatap Matt beberapa detik sebelum berkata,
"Kau masih belum ingat... tapi ingatanmu akan kembali, seiring dunia ini mulai membuka dirinya padamu." - ???
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Matt, kali ini dengan nada lebih pelan.
Anak itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh ke arah langit biru yang perlahan berubah warna keunguan. Awan-awan mulai membentuk pola aneh.
"Semuanya sudah dimulai, dan kau—kau adalah pusat dari semua ini, Matt." - ???
Matt mendongak, menatap langit yang perlahan berubah—warna biru cerah bergeser menjadi keunguan pekat, lalu muncul pola-pola geometris yang saling bergerak, seperti mozaik hidup yang terbentuk dari awan.
"Langit ini… tidak masuk akal," gumamnya.
Pola-pola itu mulai berpendar, membentuk simbol-simbol asing yang terasa familiar di benaknya, namun tak bisa ia artikan. Cahaya dari langit memancar sesekali ke tanah, seperti sinyal atau pemicu.
Anak laki-laki itu menatap langit dengan ekspresi tenang.
"Itu bukan langit biasa. Itu adalah penanda—bahwa dunia ini sedang mengakses ulang struktur aslinya. Ini terjadi setiap kali kau mulai mengingat sesuatu."
"Mengingat? Maksudmu aku pernah di sini sebelumnya?" tanya Matt, matanya tak lepas dari simbol-simbol yang makin banyak bermunculan.
"Bukan hanya pernah. Dunia ini dibentuk dari lapisan-lapisan ingatanmu… dan bayanganmu. Langit itu mencerminkan isi pikiranmu yang terpecah," ujar si anak.
Seketika, salah satu simbol di langit berputar cepat dan jatuh menghantam tanah di kejauhan, menggetarkan bumi sesaat. Seekor burung besar, berbentuk aneh, muncul dari titik jatuhnya dan terbang tinggi sambil melengking.
"Itu apa lagi?!" teriak Matt.
Anak itu menatap Matt, kali ini serius.
"Itu... bagian dari ingatan yang telah lama kau kunci. Sekarang ia bebas." - ???
"Aku bahkan tidak mengingat bahwa
Aku pernah menciptakan burung ini" - Matt Watson
Anak laki-laki itu tersenyum samar, tapi tatapannya tetap tajam.
"Tentu saja kau tak mengingatnya, karena kau menciptakannya bukan sebagai Matt Watson." - ???
"Apa maksudmu? Lagi-lagi soal aku 'sebelum' jadi Matt? Siapa aku sebenarnya!?" suara Matt mulai naik, kebingungan dan frustasi membanjiri wajahnya.
"Kau adalah bayangan dari dirimu sendiri. Nama ‘Matt Watson’ hanyalah topeng untuk bertahan di dunia ini. Burung itu… adalah bagian dari dirimu yang kau buang. Wujud dari rasa takutmu—yang kau bungkam dan lupakan." - ???
Matt terdiam. Burung itu kembali berputar di langit, kini warnanya berubah—campuran hitam dan merah, seperti bara api yang hidup.
"Kenapa aku harus melupakan bagian dari diriku?" - Matt Watson
Anak itu menatap langit, lalu menoleh pada Matt.
"Karena jika kau mengingat semuanya sekaligus… dunia ini akan runtuh." - ???
"Runtuh?" - Matt Watson
"Dunia ini bukan nyata, tapi ia juga bukan sepenuhnya khayalan. Ia berdiri di atas ketidakseimbangan: ingatan, penyangkalan, dan kehendak. Dan sekarang, kau mulai menantang batasnya." - ???
Matt menggenggam tanah di bawahnya. Rasanya nyata. Terlalu nyata. Tapi pikirannya berkecamuk.
"Kalau aku tidak mengingat siapa aku... lalu siapa yang mengendalikannya?" - Matt Watson
Angin bertiup kencang. Langit menggelap. Burung itu berhenti di udara, matanya bersinar tajam mengarah ke Matt.
"Itu yang harus kau cari tahu, Tuan Shadow." - ???
"Terserahmu saja sekarang beritahukan aku siapa namamu" - Matt Watson
Anak laki-laki itu menatap Matt, diam beberapa detik, seolah ragu untuk menjawab. Kemudian ia mengangkat satu jarinya ke langit yang kini memudar menjadi abu-abu.
"Namaku…" ia berkata perlahan, "…adalah Echo."
Matt menyipitkan mata.
"Echo? Seperti gema?"
Echo mengangguk.
"Aku adalah gema dari pikiranmu yang terbuang. Aku tidak punya bentuk tetap, tidak punya masa depan. Tugasku hanya satu: membawamu kembali." - Echo
"Kembali? Ke mana?" tanya Matt, nadanya mulai menegang.
Echo menunduk, suaranya nyaris seperti bisikan.
"Ke saat di mana kau berhenti menjadi dirimu sendiri… dan memilih menjadi seseorang bernama Matt Watson." - Echo
Langit bergetar pelan. Burung besar itu mengeluarkan suara serak dari kejauhan.
"Apa maksudmu? Apa aku dulu… bukan manusia?" - Matt
Echo menatap Matt dalam-dalam, lalu melangkah mundur.
"Pertanyaanmu akan terjawab, tapi tidak olehku. Aku hanya bisa membawamu ke pintu berikutnya." - Echo
Tiba-tiba, tanah di bawah kaki Matt retak. Sebuah lingkaran cahaya terbuka seperti portal, memperlihatkan bayangan kota yang hancur dan langit yang terbakar.
"Kau harus melewatinya. Di balik sana, jawaban pertamamu menunggu." - Echo
"Dan kau?" tanya Matt cepat.
**"Kau tidak ikut?"
Echo tersenyum tipis.
"Aku hanya gema, Matt. Aku tinggal di belakang, bersamamu yang lama." - Echo
- To be Continue -