Bab 11 – Labirin Gema dan Nyanyian Batu
Keterkejutan atas apa yang terjadi pada ujian pertama masih membekas di wajah para Pengukir Angin. Ruhosi, dengan caranya yang aneh, tidak hanya "menari" bersama angin fajar, tetapi juga seolah berinteraksi langsung dengan inti Pusaran Suci—sesuatu yang bahkan bagi mereka adalah misteri sakral. Kalung di lehernya yang sempat menyerap gelombang energi itu kini tampak biasa saja, namun Tetua Kaivan tahu, anak ini membawa takdir yang jauh lebih besar dari dugaan awal mereka.
Setelah diskusi singkat namun intens dengan para tetua lainnya, di mana suara-suara keraguan bercampur dengan secercah harapan akan "Jiwa Pengembara" dari ramalan kuno, Tetua Kaivan memutuskan untuk melanjutkan.
"Ujian keduamu, Ruhosi," ujar Tetua Kaivan, suaranya kini membawa nada yang lebih serius, "akan menguji ketajaman batin dan kemampuanmu membedakan kebenaran dari ilusi yang dibawa angin. Kau akan memasuki Ngarai Seribu Gema."
Ia menunjuk ke arah sebuah celah sempit di antara dua tebing batu raksasa yang menjulang tinggi, tampak seperti gerbang menuju dunia lain. Dari celah itu, terdengar suara-suara aneh—desisan angin, gemerisik pasir, dan sesekali seperti bisikan samar yang memanggil.
"Di dalam ngarai itu, angin bermain dengan suara. Ia akan membisikkan banyak hal—petunjuk, kebohongan, bahkan ketakutan terdalammu. Batu-batu di sana juga hidup; mereka bernyanyi merespons angin, dan nyanyian mereka bisa menyesatkan atau menuntun. Tugasmu adalah menemukan 'Jantung Ngarai', sebuah batu kristal yang berdenyut di pusat labirin itu. Hanya dengan intuisi dan kejernihan hatimu kau bisa menemukannya."
Ruhosi mengangguk, matanya berbinar. "Ngarai Seribu Gema? Kayaknya seru buat main petak umpet sama angin! Oke, Jantung Ngarai, aku datang!"
Tanpa rasa gentar sedikit pun, ia melangkah memasuki celah sempit itu. Seketika, dunia di sekitarnya berubah. Suara dari luar meredup, digantikan oleh simfoni gema yang membingungkan. Dinding ngarai berkelok-kelok, menciptakan labirin alami. Angin berputar-putar, membawa aroma tanah basah dan ozon.
Awalnya, Ruhosi mencoba menggunakan Lensa Kabut. Pemandangan memang menjadi lebih jelas; ia bisa melihat aliran angin berwarna-warni menari di antara dinding batu. Tapi suara-suara itu… menjadi seribu kali lebih banyak dan membingungkan. Ada yang memanggil namanya, ada yang menawarkannya makanan enak, ada yang menakut-nakutinya dengan suara monster.
"Waduh, ramai banget di sini! Kayak pasar kaget tapi isinya angin semua!" gumam Ruhosi, sedikit kewalahan.
Ia mencoba mengikuti satu bisikan yang terdengar paling meyakinkan, yang menjanjikan jalan pintas. Tapi bisikan itu membawanya ke jalan buntu, di mana bayangan-bayangan dari masa lalunya—kilasan saat ia dibuang, kesepian di hutan—mulai muncul di dinding batu, ditenagai oleh ilusi angin.
"Oh, ini lagi," kata Ruhosi, tapi kali ini ada sedikit getaran dalam suaranya. Ia merasakan secuil keraguan. Asap hitam dari retakan di tubuhnya mulai bergolak resah.
Para Pengukir Angin, termasuk Tetua Kaivan, mengamati dari atas tebing menggunakan teropong khusus yang terbuat dari kristal angin. Mereka tidak bisa mendengar apa yang didengar Ruhosi, tapi mereka bisa melihat kebingungannya.
"Ilusi angin mulai mempengaruhinya," bisik salah satu Pengukir Angin muda.
Tetua Kaivan hanya diam, matanya tak lepas dari sosok kecil di bawah sana.
Ruhosi terduduk sejenak. Ia mencopot Lensa Kabut. Terlalu banyak informasi. Ia teringat latihannya dengan Ras Bayangan: pejamkan mata, rasakan dengan seluruh tubuhmu. Ia juga teringat pesan Ras Kabut Hijau: terima bayangan dirimu.
"Oke, angin," bisik Ruhosi. "Kamu mau main-main, ya? Aku juga bisa!"
Ia memejamkan mata. Mengabaikan ribuan bisikan. Ia fokus pada getaran tanah di bawah kakinya, pada suhu udara yang berubah di setiap tikungan, pada… nyanyian batu-batu itu.
Awalnya, nyanyian batu itu terdengar sumbang, saling tumpang tindih. Tapi Ruhosi, dengan kepekaan yang diasah sejak kecil, mulai menangkap pola. Ada satu frekuensi, satu nada yang bergetar lebih dalam, lebih murni, seolah memanggilnya. Itu bukan suara yang paling keras, justru yang paling lembut, nyaris tenggelam oleh gema lainnya.
Asap hitam dari retakan tubuhnya mulai tenang, dan anehnya, beberapa helai rambut putih bercahayanya mulai berpendar samar, seolah merespons energi murni dari nyanyian batu yang ia fokuskan.
Ia bangkit, berjalan perlahan, bukan lagi berdasarkan apa yang ia lihat atau dengar secara gamblang, tapi berdasarkan "rasa" yang ditimbulkan oleh nyanyian batu itu. Berkali-kali ia hampir salah jalan, terjebak oleh gema yang meniru nyanyian itu. Tapi setiap kali itu terjadi, kalung di lehernya terasa sedikit hangat, memberinya semacam peringatan halus.
Akhirnya, setelah melalui lorong-lorong sempit dan tikungan tajam, ia tiba di sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik dinding batu yang tertutup lumut bercahaya. Di tengah gua itu, sebuah kristal sebesar kepalan tangan orang dewasa berdenyut dengan cahaya biru lembut, memancarkan getaran yang sama dengan nyanyian batu yang ia ikuti. Itulah Jantung Ngarai.
Ruhosi menyentuhnya. Energi dingin namun menenangkan mengalir ke tubuhnya. Kilasan-kilasan visi kembali muncul, lebih jelas dari sebelumnya: siluet kunci raksasa di Pusaran Suci, dan sebuah peta bintang yang rumit dengan tujuh titik bercahaya. Salah satu titik itu terasa beresonansi dengan Jantung Ngarai di tangannya.
Ketika Ruhosi keluar dari Ngarai Seribu Gema, wajahnya tampak lebih tenang, lebih… dewasa, meski senyum konyolnya segera kembali menghiasi wajahnya saat melihat Tetua Kaivan.
"Ketemu! Batunya cantik, tapi nggak bisa dimakan kayaknya," katanya sambil menyerahkan Jantung Ngarai.
Tetua Kaivan menerima kristal itu. Matanya menatap Ruhosi dengan sorot yang sulit diartikan. Anak ini tidak hanya berhasil, tapi ia melakukannya dengan cara yang lagi-lagi di luar dugaan. Ia tidak menaklukkan labirin dengan kekuatan atau kecepatan, tapi dengan keheningan batin dan kemampuan untuk menemukan harmoni di tengah kekacauan—sebuah kualitas yang sangat dihargai oleh para Pengukir Angin.
"Kau telah membuktikan kejernihan hatimu, Ruhosi," kata Tetua Kaivan. "Satu ujian lagi. Ujian terakhir dan yang paling berbahaya. Jika kau berhasil, rahasia Napas Angin akan terbuka untukmu. Ujian ini adalah… Menenangkan Amarah Badai."
Di langit, awan-awan mulai berkumpul, menggelap. Angin yang tadinya tenang kini mulai berhembus kencang dengan nada mengancam. Ujian ketiga sepertinya tidak akan menunggu lama.