Cherreads

Chapter 12 - Bab 14 (Alkein-Ruhosi)

Bab 14 – Napas Angin dan Jejak Pertama

Keluar dari Pusaran Suci, Ruhosi merasa seperti baru saja bangun dari mimpi yang sangat nyata dan luar biasa. Udara di luar terasa lebih ringan, namun kesadaran akan tugas barunya terasa berat sekaligus menggairahkan. Lensa Kabut di tangannya kini berdenyut dengan cahaya biru lembut, dan peta bintang di dalamnya menunjukkan satu titik baru yang berkedip-kedip di antara konstelasi yang tak ia kenali.

Para Pengukir Angin yang menunggu di luar menyambut mereka dengan tatapan penuh hormat. Tak ada lagi keraguan di mata mereka; bocah di hadapan mereka kini bukan hanya tamu aneh, melainkan 'Sang Pengembara' yang ditakdirkan.

"Sekarang, Ruhosi," kata Tetua Kaivan dengan senyum tipis namun tulus, "Sebelum kau melanjutkan perjalananmu, kau harus mempelajari dasar-dasar Napas Angin. Itu akan menjadi bekal penting."

Proses belajar Napas Angin bersama Tetua Kaivan ternyata… unik, sebagian besar karena muridnya adalah Ruhosi. Kaivan mencoba mengajarkan meditasi untuk merasakan aliran angin, teknik pernapasan untuk menyelaraskan diri, dan gerakan-gerakan lembut untuk memanipulasi arus udara kecil.

Ruhosi, di sisi lain, lebih sering bertanya, "Kalau aku kentutnya searah angin, itu termasuk Napas Angin juga nggak, Tetua?" atau saat mencoba meditasi, ia malah tertidur dan mengigau tentang monster sosis raksasa.

Namun, di balik kekonyolannya, ada intuisi tajam yang mengejutkan Kaivan. Saat diminta merasakan angin, Ruhosi mungkin tidak duduk diam, tapi ia akan melompat ke atas batu tertinggi, merentangkan tangannya, dan dengan Lensa Kabut di matanya, ia bisa melihat dan merasakan pola angin dengan cara yang berbeda. Ia tidak mempelajarinya secara teoritis, tapi lebih seperti… mengingat sesuatu yang sudah lama ia lupakan, atau beradaptasi secara naluriah.

"Kau seperti anak angin itu sendiri, Ruhosi," gumam Kaivan suatu hari, melihat Ruhosi berhasil membuat pusaran angin kecil untuk menerbangkan topi salah satu Pengukir Angin muda yang sedang mengintip latihannya. "Belajarmu tidak mengikuti aturan, tapi hasilnya… melampaui perkiraan."

Dalam beberapa hari yang terasa singkat, Ruhosi sudah bisa merasakan arah angin tanpa melihat, bergerak seringan bulu di antara hembusan kencang, dan bahkan menciptakan gelombang angin kecil yang cukup untuk mendorong buah jatuh dari pohon atau, yang lebih sering ia lakukan, untuk menjahili para Pengukir Angin muda.

Di sela-sela latihan, Ruhosi dan Tetua Kaivan sering mempelajari Lensa Kabut yang telah disempurnakan. Titik baru yang berkedip itu berada di sebuah gugusan bintang yang oleh para Pengukir Angin disebut sebagai "Konstelasi Naga Tidur."

"Menurut legenda kuno kami," ujar Kaivan sambil menunjuk peta bintang di Lensa Kabut, "Konstelasi Naga Tidur menandakan wilayah di balik Pegunungan Mendidih. Daerah itu dikenal sebagai Tanah Seribu Kawah, tempat tinggal Ras Vulkanik yang menyembah api abadi. Mereka adalah ras yang keras dan terisolasi. Jika Kunci berikutnya ada di sana… perjalananmu akan sangat berat."

"Ras Vulkanik? Api abadi? Pegunungan Mendidih?" Mata Ruhosi berbinar. "Kedengarannya panaaas… dan seru! Apa mereka juga suka makanan pedas?"

Tetua Kaivan hanya bisa menghela napas, lalu tersenyum. Semangat anak ini benar-benar tak terpatahkan.

Waktu perpisahan pun tiba. Para Pengukir Angin telah menyiapkan bekal sederhana untuk Ruhosi—kulit air yang terbuat dari kantung angin khusus yang bisa menjaga air tetap sejuk, beberapa potong daging kering, dan jubah baru yang lebih ringan namun kuat, ditenun dari serat angin.

"Jalanmu masih panjang, Ruhosi," kata Tetua Kaivan, meletakkan tangannya di pundak bocah itu. "Ingatlah pelajaran angin: fleksibel, tak terlihat namun kuat, dan selalu bergerak menuju tujuan. Dan jangan lupakan… kau tidak sendirian. Angin akan selalu menjadi sahabatmu."

"Siap, Tetua!" Ruhosi memberi hormat dengan gaya konyolnya. "Terima kasih buat semuanya! Nanti kalau aku sudah jadi pahlawan super duper keren, aku traktir kalian semua es krim rasa angin!"

Dengan lambaian tangan kepada para Pengukir Angin yang kini terasa seperti keluarga jauh, Ruhosi membalikkan badan. Lensa Kabut di tangannya menunjukkan arah menuju Pegunungan Mendidih. Langkah pertamanya di jejak baru ini terasa ringan, diiringi siulan riang.

Namun, ia tidak menyadari bahwa setiap gerakannya kini diawasi dengan lebih saksama.

Di sebuah kuil tersembunyi yang diselimuti bayangan pekat di dimensi lain, sosok berjubah ungu itu berdiri di hadapan sebuah altar gelap. Di atas altar, sebuah bola kristal hitam memancarkan gambaran samar Ruhosi yang sedang memulai perjalanannya.

> "Konstelasi Naga Tidur… Tanah Seribu Kawah," desis sosok itu. Suaranya dingin dan tanpa emosi. "Ras Vulkanik adalah penjaga yang fanatik. Kunci Api disegel dengan baik di sana. Mengirim pasukan rendahan hanya akan membuang waktu."

> Ia menoleh ke arah bayangan yang lebih pekat di sudut ruangan. "Vorgash," panggilnya.

> Dari bayangan itu, muncul sesosok makhluk tinggi besar, kulitnya sekeras obsidian, dengan mata merah menyala penuh kebencian. Ia membawa kapak raksasa yang dialiri energi gelap.

> "Pergilah ke Tanah Seribu Kawah. Dapatkan Kunci Api. Bawa bocah itu padaku jika memungkinkan… hidup atau mati, tidak masalah. Tapi Kunci itu… harus menjadi milikku."

Vorgash hanya menggeram rendah, sebuah sumpah kesetiaan yang mengerikan, lalu menghilang kembali ke dalam bayangan, siap menjalankan perintah tuannya.

Ruhosi, yang masih bersiul riang sambil sesekali mencoba mempraktikkan Napas Angin dengan meniup poni rambutnya sendiri, sama sekali tidak tahu bahwa bahaya yang jauh lebih besar dan lebih terarah kini tengah mengincarnya, dan bahwa perjalanannya menuju Kunci berikutnya akan menjadi ujian yang sesungguhnya bagi semua yang telah ia pelajari. Angin di sekitarnya berhembus sedikit lebih kencang, seolah membawa peringatan yang tak bisa ia dengar.

More Chapters