Bab 17 – Cahaya yang Merindukan Langit Luas
Dua setengah tahun telah berlalu sejak kita pertama kali berkenalan dengan Elara. Kini, gadis kecil berambut pink perak itu telah menginjak usia sembilan setengah tahun. Di Lembah Lumina'val yang selalu diselimuti keindahan dan ketenangan, Elara tumbuh menjadi sosok yang semakin… berwarna.
Sifat cerewetnya tidak banyak berubah. Setiap pagi, ia masih akan mengikuti Lyris ke taman-taman penyembuhan atau ke perpustakaan kuno para Elf, mengoceh tanpa henti tentang mimpi-mimpinya semalam, tentang serangga aneh yang ia temukan, atau tentang betapa membosankannya pelajaran melukis aksara Elf kuno. Sifat manjanya juga masih ada; ia akan merajuk jika permintaannya untuk mendapatkan buah lumina berry paling manis tidak segera dituruti, atau jika para pemanah Elf muda tidak memperhatikannya saat ia mencoba (dan seringkali gagal) meniru gerakan mereka.
Namun, di balik itu semua, tekad Elara untuk melakukan segalanya sendiri justru semakin kuat. Ia tahu ia berbeda. Kulitnya yang berpendar lembut dan rambutnya yang unik selalu menjadi pengingat halus akan hal itu. Para Elf memperlakukannya dengan baik, dengan kesabaran dan kelembutan yang menjadi ciri khas ras mereka, namun Elara seringkali merasa seperti bunga matahari yang tumbuh di tengah hamparan bunga bulan. Indah, namun berbeda arah pandang.
"Lyris, lihat!" seru Elara suatu sore di padang latihan. Ia berusaha menyeimbangkan diri di atas seutas akar pohon yang melintang rendah, meniru para prajurit Elf yang berlatih keseimbangan di dahan-dahan tinggi. Tentu saja, ia sudah jatuh berkali-kali, membuat jubah kecilnya penuh noda tanah. "Aku hampir bisa sampai ujung tanpa jatuh!"
Lyris tersenyum dari bawah pohon tempat ia membaca gulungan perkamen. "Hati-hati, Elara. Keseimbangan bukan hanya tentang tidak jatuh, tapi juga tentang menemukan titik pusat dalam dirimu."
"Iya, iya, titik pusat…" gumam Elara, lalu kembali mencoba. Dan tentu saja, ia terjatuh lagi. Tapi ia langsung bangkit, membersihkan debu dari pakaiannya. "Hmph! Akar ini saja yang licin!"
Yang menarik adalah perkembangan kekuatan cahayanya. Ia tidak pandai menggunakan sihir alam seperti para Elf, yang bisa berbicara dengan tanaman atau memanggil angin sepoi-sepoi. Tapi, tangannya memiliki kemampuan penyembuhan alami yang unik. Luka gores kecil pada hewan hutan atau kelopak bunga yang layu bisa kembali segar hanya dengan sentuhan lembut dan gumaman pelan darinya, diiringi cahaya hangat yang samar dari telapak tangannya. Para Elf penyembuh mengakui bakat ini, meskipun cara Elara menggunakannya seringkali tidak konvensional—ia lebih sering "mengajak ngobrol" luka itu agar cepat sembuh.
Keinginannya untuk diperhatikan juga mendorongnya untuk mencoba hal-hal baru yang menurutnya "keren". Suatu kali, ia mencoba menyelinap ke dalam arsip terlarang di perpustakaan kuil, berharap menemukan catatan tentang Ras Cahaya atau tentang orang tuanya. Tentu saja ia ketahuan oleh Tetua Elarael, pemimpin para Elf yang bijaksana.
"Keingintahuan adalah pedang bermata dua, Anak Cahaya," kata Tetua Elarael dengan lembut namun tegas saat itu, matanya yang setua bintang menatap Elara dalam. "Ia bisa menuntunmu pada pengetahuan, atau pada bahaya yang belum siap kau hadapi."
Elara hanya bisa menunduk, merasa sedikit malu namun juga semakin penasaran. Pertanyaan tentang "siapa dirinya" dan "dari mana ia berasal" semakin sering menghantuinya, terutama di malam hari saat ia menatap bintang-bintang dari jendela kamarnya, memeluk liontin matahari separuh peninggalan ibunya.
"Kenapa aku berbeda?" bisiknya pada liontin itu suatu malam. "Apa di luar sana ada yang sepertiku? Apa Ayah dan Ibu juga suka makan lumina berry sampai kekenyangan sepertiku?"
Kerinduan akan dunia luar dan jawaban atas jati dirinya mulai tumbuh menjadi benih petualangan dalam hatinya. Ia mulai lebih sering memperhatikan para penjaga perbatasan Elf, mendengar cerita-cerita samar tentang dunia di balik pegunungan pelindung Lumina'val—dunia yang katanya penuh dengan berbagai ras, keajaiban, tapi juga bahaya.
Suatu senja, saat matahari hampir terbenam dan langit memerah saga, Elara berdiri di titik tertinggi di lembah yang bisa ia capai tanpa ketahuan. Dari sana, ia bisa melihat puncak-puncak pegunungan yang menjulang tinggi, seolah menjadi batas antara dunianya yang aman dan dunia luas yang penuh misteri.
"Suatu hari nanti," gumamnya dengan mata berbinar penuh tekad, tangannya mengepal erat. "Aku akan pergi ke sana. Aku akan mencari tahu semuanya. Dan aku akan melakukannya sendiri!"
Kulitnya berpendar lebih terang dari biasanya, seolah merespons gejolak semangat dan kerinduan dalam jiwanya. Ia belum tahu kapan dan bagaimana, tapi Elara kecil sudah membulatkan tekadnya. Lembah Lumina'val yang indah mungkin adalah rumahnya, tapi hatinya mulai merindukan langit yang lebih luas. Dan di bawah langit yang sama, di belahan dunia lain, seorang bocah konyol juga tengah menapaki takdirnya sendiri, selangkah demi selangkah mendekati persimpangan yang tak terhindarkan.