Langit belum kembali tenang.
Meski hujan darah langit telah reda, awan merah gelap masih menggantung berat di angkasa, menyelimuti puncak pegunungan tempat reruntuhan Paviliun Darah Langit berdiri. Aroma besi tua dan petir yang menyengat bercampur dengan keheningan yang membuat merinding. Dunia terasa seakan menahan napasnya—seperti makhluk purba yang tengah mengintai dari balik langit.
Di tengah reruntuhan yang retak dan nyaris runtuh seluruhnya, berdiri seorang pemuda berjubah hitam robek, tubuhnya diselimuti oleh kabut kelam yang mengalir seperti bayangan cair. Ye Tian. Sosoknya tenang, namun aura yang menguar darinya membuat udara di sekitarnya bergetar tak menentu. Tanah di bawahnya retak-retak seperti menolak menahan energi yang keluar dari tubuhnya. Di belakangnya, segel darah di punggung tangan masih bersinar samar—lambang dari Segel Tiga Kesengsaraan, warisan kutukan dan kekuatan leluhur yang hanya bisa dibangkitkan oleh darah langit.
Namun Ye Tian tak bergerak.
Ia menatap lurus ke arah tubuh pria bertopeng yang kini tergeletak tak sadarkan diri, darah menetes dari sudut mulutnya. Guqin pusaka yang menjadi senjatanya kini pecah menjadi dua, tak mampu menahan serangan terakhir dari Ye Tian. Namun Ye Tian tahu—yang baru saja ia kalahkan bukanlah musuh sejati, hanya utusan. Hanya ujian kecil yang dikirim oleh sesuatu yang lebih besar.
"Aku... masih terlalu lemah," gumamnya pelan.
Meski kekuatan dalam tubuhnya telah bangkit sebagian, ia belum dapat mengendalikannya sepenuhnya. Jalur darah di dalam dantian-nya masih bergejolak liar, seperti naga dan iblis yang saling bertarung di dalam tubuh satu manusia.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara derap langkah cepat dan teratur. Belasan bayangan hitam melesat dari balik hutan, meluncur dengan kecepatan tinggi mendekati lokasi Ye Tian. Di antara mereka, aura para kultivator tingkat tinggi terasa jelas—beberapa di antaranya bahkan memiliki tekanan yang tidak kalah dari para tetua sekte.
Ye Tian menoleh perlahan. Tak ada ketakutan dalam matanya, hanya perhitungan dingin.
"Langit memang tidak memberiku waktu untuk bernapas," katanya pelan, sebelum ia melompat ke atas batu besar dan berdiri menghadap ke arah kedatangan mereka.
Saat para sosok itu mendekat, seorang wanita muncul di barisan depan. Usianya masih muda, mungkin sekitar dua puluh, namun kekuatan yang terpancar darinya membuat jantung siapa pun yang melihatnya berdegup cepat. Rambut panjang putih perak berkilau di bawah cahaya langit merah, matanya setajam pedang, dan jubah putih dengan lambang Sekte Pedang Surga berkibar tertiup angin.
"Nama?" tanyanya singkat, suaranya datar.
"Ye Tian."
Wanita itu sempat terdiam, lalu matanya menyipit tajam. "Ye Tian... putra dari pasangan berdarah campuran, yang dikira mati dalam penyergapan tujuh tahun lalu?"
Ye Tian mengangkat dagunya sedikit, tidak mengiyakan namun juga tidak menyangkal.
Salah satu lelaki di belakang wanita itu langsung menarik pedangnya. "Tangkap dia! Dia pembawa bencana, pewaris darah langit terkutuk!"
Namun tangan sang wanita terangkat, menghentikan mereka.
"Tidak. Kita tidak menyerang... belum sekarang." Ia menatap Ye Tian lebih tajam. "Kau... menyerap Catatan Darah Langit, bukan?"
Ye Tian diam.
Tapi dalam diamnya, jawabannya sudah jelas. Aura yang membungkus tubuhnya terlalu khas. Para tetua sekte besar mana pun tahu: hanya mereka yang menyatu dengan teknik terlarang itu yang bisa memancarkan aura setebal kabut hitam berdarah.
Wanita itu turun dari kudanya. Langkahnya ringan, namun tiap jejak yang ia tinggalkan membekas dalam batu—tanda bahwa kultivasinya telah mencapai tingkat yang menginjak langit.
"Aku Bai Ningxue," katanya akhirnya. "Putri dari Tetua Agung Sekte Pedang Surga."
Ye Tian hanya mengangguk singkat. Namanya tidak asing. Dalam catatan-catatan rahasia di kedalaman Paviliun Darah Langit, Bai Ningxue disebut sebagai Pedang Dingin Surgawi, wanita yang kelak akan mengguncang dunia kultivasi dengan pedang putihnya—dan sekaligus, satu-satunya orang yang akan menahan kebangkitan "Bayangan Abadi".
"Kalau kau benar-benar Ye Tian," kata Ningxue pelan, "maka dunia akan berubah... lebih cepat dari yang kami kira."
__
Keheningan di antara mereka berlangsung singkat, namun ketegangan menggantung seperti benang halus yang siap putus kapan saja. Bai Ningxue masih berdiri tegak, sorot matanya penuh perhitungan, seolah mencoba menembus kabut misteri yang menyelubungi tubuh Ye Tian. Para pengikutnya tak berani mendekat, entah karena perintah atau karena tekanan spiritual yang belum sepenuhnya reda dari bentrokan sebelumnya.
Ye Tian menatapnya tanpa emosi. Matanya seperti cermin, tak memantulkan rasa takut, marah, atau hormat—hanya ketenangan yang membeku. Dulu, ia mungkin akan tunduk pada tekanan seperti ini, tapi sekarang... ia telah melihat lebih banyak dari yang seharusnya dilihat seorang manusia biasa.
"Kau ingin menguji kekuatanku?" tanya Ye Tian akhirnya, nadanya datar namun menggelegar seperti petir yang ditahan.
Ningxue tidak langsung menjawab. Ia menarik napas, lalu berbalik, melangkah perlahan menjauhi reruntuhan.
"Jika aku menyerangmu sekarang," katanya tanpa menoleh, "aku mungkin akan menang. Tapi aku tidak akan mendapatkan jawaban yang aku inginkan."
Ye Tian sedikit menyipitkan mata. "Jawaban?"
"Benar." Ningxue berhenti di tepi tebing. "Aku ingin tahu... apakah benar langit menolakmu. Atau justru... kau adalah anak yang dipilih oleh langit untuk menghancurkan dunia lama."
Ye Tian tidak bereaksi.
Namun dalam benaknya, kata-kata Ningxue menusuk dalam. Ia telah mendengar banyak julukan selama hidupnya—anak kutukan, darah iblis, pewaris kehancuran. Tapi baru kali ini seseorang menyebutnya sebagai 'anak pilihan langit'. Itu bukan pujian, melainkan ramalan yang jauh lebih menakutkan.
"Dunia ini takut pada sesuatu yang tidak bisa dikendalikan," lanjut Ningxue. "Sekte-sekte besar menyebutmu ancaman, bukan karena kau jahat... tapi karena kau tidak tunduk."
Ye Tian melangkah maju. "Kalau begitu, kau datang ke sini untuk apa? Menyampaikan pesan sektemu, atau memperingatkanku?"
"Aku datang... untuk memilih," jawab Ningxue lirih.
Tatapan mereka bertemu. Dua mata yang berbeda dunia—satu membawa cahaya surgawi yang terlatih dalam disiplin dan kehormatan, yang satu lagi menyimpan kegelapan yang ditempa dalam pengkhianatan dan darah. Dalam pertemuan itu, tak ada kata yang bisa menjelaskan apa yang mereka lihat satu sama lain, namun keduanya tahu… pertemuan ini bukanlah yang terakhir.
"Jalanmu dan jalanku akan bersilangan lagi," kata Ningxue. "Entah sebagai sekutu… atau sebagai musuh."
Dengan satu gerakan cepat, ia melompat kembali ke atas kudanya dan memberi isyarat pada pasukannya untuk mundur. Dalam hitungan detik, mereka menghilang ke balik kabut, menyisakan keheningan dan reruntuhan.
Ye Tian masih berdiri diam, tapi ada sesuatu yang berubah di matanya. Tidak banyak orang yang bisa melihatnya sebagai sosok yang lebih dari kutukan. Ningxue adalah pengecualian.
Namun jalan yang ia tempuh tidak akan menjadi mudah, apalagi damai.
Ia menatap ke arah langit yang masih diselimuti kabut merah. Bayangan dari simbol segel darah perlahan memudar dari punggung tangannya, menyisakan bekas samar yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang mampu membaca takdir.
Di kejauhan, gong besar dari utara berbunyi—suara yang hanya dipukul saat dunia kultivasi bersiap untuk konklaf besar antar sekte. Peristiwa itu datang sekali dalam seratus tahun… dan kali ini, tampaknya, semua kekuatan utama akan hadir.
Ye Tian mengepalkan tangannya. "Baiklah… jika langit ingin bermain, aku akan membuka jalannya dengan darah dan bayangan."
---