Cherreads

Chapter 6 - BAB 6: Gema Takdir di Gunung Pembantai

Kabut tipis menyelimuti hutan pinus yang tumbuh liar di kaki Gunung Pembantai, tempat yang jarang dikunjungi manusia. Suara burung malam dan geraman binatang buas bergema samar di kejauhan, menciptakan suasana sunyi yang mencekam namun misterius. Di antara kabut dan bayang-bayang, siluet seorang pemuda melangkah perlahan, jubah hitamnya berkibar tertiup angin.

Ye Tian.

Tubuhnya masih terasa panas. Energi warisan darah leluhur yang baru diserapnya di Lembah Tulang Hitam belum sepenuhnya stabil. Di balik matanya yang tenang, aura spiritual mengamuk seperti badai yang ditahan di dalam botol.

Namun wajahnya tetap datar, dingin seperti batu yang telah melalui ribuan musim.

Ia kini berada jauh dari tempat asalnya. Langkahnya membawanya ke Gunung Pembantai — sebuah wilayah netral yang menjadi perbatasan antara tiga sekte besar: Kuil Surga, Sekte Darah Iblis, dan Istana Salju Keabadian. Dulu tempat ini adalah medan perang berdarah, tapi kini menjadi tempat para pengembara yang tak terikat, para kultivator liar, dan pencari takdir.

"Setelah semua ini," bisik Ye Tian, memandang langit yang tertutup awan gelap, "aku harus tumbuh lebih cepat. Jika langit mulai bergerak... maka aku harus melampaui mereka sebelum mereka menjatuhkan hukuman."

Ia menurunkan tubuhnya, duduk di atas akar pohon besar, dan mulai bermeditasi. Aliran energi dari bumi perlahan menyatu dengan pusaran kekuatan dalam tubuhnya. Darahnya, yang telah berubah warna menjadi merah kehitaman, berdenyut pelan.

Di dalam kesadarannya, muncul siluet kabur dari leluhur yang dilihatnya sebelumnya — sosok pria dengan rambut perak dan mata emas, berdiri di tengah medan perang, membawa pedang raksasa yang menyala dengan aura bayangan dan darah.

"Anak dari darah terkutuk... bawa kehancuran atau keselamatan, semuanya tergantung pada pilihanmu."

Ye Tian membuka matanya. Udara di sekelilingnya berguncang pelan, dan makhluk-makhluk buas yang mengintainya dari balik pepohonan mendadak melarikan diri.

Namun dari kejauhan, langkah kaki lain mendekat.

Suara ranting patah. Hening yang tidak alami. Aura yang samar-samar dipenuhi niat membunuh.

Ye Tian berdiri perlahan, menoleh ke arah barat.

"Keluar," ucapnya tenang. "Aku tahu kau mengikutiku sejak lembah itu."

Dari balik bayang-bayang, muncullah sosok berjubah ungu gelap dengan mata penuh kebencian dan lambang Kuil Surga di dadanya.

"Ye Tian..." desis pria itu. "Atas nama langit, aku akan menghapus kutukanmu dari dunia ini."

Dan malam itu, di bawah bayang-bayang Gunung Pembantai, pertempuran baru pun dimulai.

Bagian 2: Cahaya Langit Melawan Bayangan Leluhur

Sosok pria dari Kuil Surga itu melangkah maju. Wajahnya kurus namun tajam, seperti bilah pedang yang telah diasah ratusan kali. Di matanya, terpancar keyakinan fanatik—keyakinan yang menganggap dunia ini hanya boleh dikendalikan oleh "cahaya langit", dan bahwa semua yang menyimpang harus dimusnahkan.

"Nama panjangku adalah Mo Yanzhao, murid inti Kuil Surga," ucapnya lantang. "Aku ditugaskan untuk menghapus sumber dosa yang telah dibangkitkan kembali. Kau, Ye Tian, adalah kutukan bagi dunia ini."

Ye Tian tidak bergerak. Tatapannya tajam namun tenang, seolah mendengarkan deru angin lebih penting daripada ancaman di depannya.

"Apakah kau percaya dirimu sebagai cahaya langit?" tanyanya datar.

"Aku bukan cahaya," jawab Mo Yanzhao, sembari mencabut pedangnya yang berkilauan keemasan, "aku adalah tangan penghukum yang mengayunkan kehendak langit."

Dan secepat kilat, ia menghilang.

WUUUSSH!!

Pedang emas meluncur membelah kabut, mengarah langsung ke jantung Ye Tian. Tapi Ye Tian hanya sedikit bergeser ke kiri—cukup untuk membuat tebasan itu meleset sepersekian inci.

CLANG!

Cakar bayangan keluar dari lengan Ye Tian, menahan pedang itu dengan suara denting nyaring. Bentrokan pertama terjadi. Tanah terbelah di bawah kaki mereka, pohon-pohon terayun oleh gelombang spiritual yang kasar dan liar.

Mo Yanzhao mundur satu langkah, lalu melompat ke udara, membentuk segel di tangannya.

"Formasi Penghakiman Suci: Empat Pilar Langit!"

Dari langit, empat cahaya suci berputar membentuk menara-menara raksasa yang mengelilingi Ye Tian, membentuk medan terisolasi. Udara di dalamnya menjadi berat—seolah seluruh langit menekan ke bawah.

"Rasakan kehendak surga yang kau lawan, pewaris darah gelap!"

Ye Tian berdiri di tengah formasi itu, namun bukan rasa takut yang mengalir dari tubuhnya—melainkan sesuatu yang lebih kelam.

"Kalau ini adalah kehendak langit... maka aku akan mengubahnya."

Ia mengangkat tangannya ke atas, dan dari dalam tubuhnya, muncul tiga cincin darah—segel warisan yang telah tertanam di tubuhnya. Cincin itu bersinar kehitaman, menelan cahaya suci yang mencoba menekannya.

Udara meledak. Pilar-pilar cahaya mulai retak satu per satu.

"Apa…?!" Mo Yanzhao terperangah. "Kau bisa... menelan kekuatan langit?!"

Tapi Ye Tian sudah melompat.

Dengan satu hentakan, ia membelah udara dan memukul langsung ke arah Mo Yanzhao. Tinju yang dibalut bayangan dan darah menghantam dada musuhnya.

BOOOM!!!

Mo Yanzhao terpental puluhan meter, menghantam pohon besar hingga batangnya patah. Ia jatuh berlutut, darah mengalir dari mulutnya.

Namun belum sempat ia bangkit, bayangan Ye Tian telah berdiri di hadapannya.

"Ini belum akhir," ucap Ye Tian pelan. "Tapi anggap ini... peringatan."

Dengan satu dorongan energi Qi, Mo Yanzhao terhempas jauh keluar dari area, tubuhnya menghilang ke dalam kabut.

---

Ye Tian berdiri sendiri kembali, napasnya berat. Tapi dalam matanya, tidak ada emosi—hanya ketenangan... dan tekad yang semakin mengeras.

Di kejauhan, langit mulai memunculkan garis merah samar—fajar yang belum tiba... namun membawa firasat bahwa pertempuran ini baru awal dari segalanya.

Bagian 3: Bayang-Bayang yang Tidak Bisa Dipadamkan

Angin malam berembus lembut di lereng Gunung Pembantai, membawa aroma darah samar yang belum sempat mengering sepenuhnya. Tanah yang baru saja diguncang pertarungan masih bergetar pelan, seolah menahan napas akan apa yang akan datang.

Ye Tian berdiri membelakangi kabut, punggungnya tegak, tubuhnya tak bergerak sedikit pun. Namun di dalam dirinya, pusaran energi darah dan bayangan terus berputar liar, menyatu dalam pola yang belum pernah dikenalnya.

Tubuhku belum siap... pikirnya. Warisan ini bukan hanya kekuatan, tapi juga ujian.

Di kejauhan, cahaya lilin berkedip-kedip dari sebuah bangunan tua yang tersembunyi di balik batu karang besar—Kuil Tanpa Nama, tempat para pengembara bertapa, para buangan berlindung, dan para mantan murid sekte besar yang memilih hidup tanpa sumpah.

Ye Tian melangkah ke sana, kakinya berat namun mantap. Di ambang pintu kuil, seorang lelaki tua bertopi jerami duduk sambil menyeruput teh panas, seolah tidak peduli bahwa dunia di luar sedang terbakar oleh konflik antar sekte.

"Duduklah, anak muda," gumam si kakek tanpa membuka matanya. "Aura yang kau bawa... seperti arwah yang menolak mati."

Ye Tian tak berkata apa-apa, tapi duduk di seberang si kakek. Matanya menyapu ruangan kecil yang sederhana, hanya ada teko teh, papan kayu meditasi, dan lukisan tua di dinding. Lukisan itu memperlihatkan seekor naga hitam dan burung feniks emas, saling membelit dalam lingkaran tak berujung.

"Kau tahu lukisan itu?" tanya si kakek pelan.

Ye Tian mengangguk. "Simbol dualitas abadi. Gelap dan terang. Kutukan dan berkat."

Kakek itu tersenyum tipis. "Orang-orang bodoh menyebut kegelapan itu dosa. Tapi terkadang, cahaya justru menyembunyikan racun yang lebih dalam."

Ia menatap Ye Tian untuk pertama kalinya. Matanya... kosong. Ternyata ia buta.

"Tapi kau... bukan sekadar bayangan. Kau adalah perpaduan dari keduanya."

Ye Tian mengernyit. "Kau tahu tentang darahku?"

"Tentu saja." Suaranya berubah dingin. "Dunia ini menyimpan lebih banyak rahasia dari yang bisa dibaca oleh para tetua sekte. Termasuk soal 'Bayangan Leluhur'—kutukan yang tak bisa dibakar oleh cahaya langit."

Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari luar. Tanah kembali bergetar.

Ye Tian berdiri cepat. Aura musuh mendekat—namun bukan satu atau dua. Tujuh, tidak... delapan kultivator kini mengepung daerah kuil, masing-masing membawa lambang dari tiga sekte besar.

"Aku mencium bau darah kuno dari tempat ini," terdengar teriakan dari luar. "Keluarlah, Pewaris Dosa! Kau dikepung!"

Si kakek tertawa pelan. "Dan mereka bilang tempat ini netral. Dunia memang suka berpura-pura adil."

Ye Tian mengepalkan tinjunya, lalu menatap langit yang kini diselimuti awan merah gelap. Dalam hati, ia tahu...

Pertarungan barusan hanyalah permulaan.

Ia membuka jubah hitamnya, memperlihatkan simbol darah yang kini terbakar di dadanya—tiga garis merah yang bersilangan, membentuk segel warisan.

"Kalian datang untuk memburu kutukan..." ucapnya dengan suara berat. "Tapi yang akan kalian temukan... adalah kehancuran."

Dan malam itu, Gunung Pembantai kembali bersimbah darah.

---

More Chapters