Malam hari di pesantren selalu tenang. Suara jangkrik, semilir angin yang menyusup lewat jendela, dan dengung kipas angin tua yang berputar pelan jadi irama penutup hariku. Di pojok ruangan komputer, aku duduk sendiri. Layar laptop menampilkan gambar-gambar bengkel motor—impian yang dulu cuma kubisikkan dalam hati saat tidur di emperan warung.
Aku membayangkan punya bengkel sendiri. Bukan yang besar, cukup yang sederhana tapi ramai. Ada ruang tunggu dengan bangku panjang dari kayu, rak alat-alat yang tertata rapi, dan papan tulis kecil berisi harga servis. Di temboknya, ada tulisan: "Bengkel Rangga – Melayani dengan Hati."
Dulu, semua itu terdengar mustahil.
Tapi hari ini, aku tahu langkah kecilku telah membawaku lebih dekat ke sana. Aku sudah belajar disiplin, belajar sabar, belajar tanggung jawab. Dan yang terpenting, aku tidak sendiri. Di belakangku ada Abah, Mimih, para pengurus, teman-teman yang dulu kukenal di jalanan dan kini berjalan bersamaku dalam cahaya.
Di satu titik, aku membuka folder di laptop yang berisi rancangan bisnis sederhana—bengkel motor dengan layanan servis keliling. Aku mulai mencatat ide-ide, mengatur pengeluaran, menghitung modal. Aku tidak tahu kapan akan terwujud, tapi sekarang aku percaya: mimpi tidak diciptakan untuk ditertawakan, tapi untuk dikejar.
Malam itu, sebelum tidur, aku berdoa lebih lama. Aku tidak minta banyak. Hanya satu: agar aku terus diberi kekuatan untuk berjalan, sekecil apa pun langkahku. Karena kini aku tahu, langkah kecil pun bisa mengubah arah hidup—selama kita tidak berhenti melangkah.