Reina jatuh berlutut. Napasnya tersengal, bukan karena kelelahan fisik melainkan karena gelombang emosi yang tak bisa ia tahan lagi. Seluruh kisah yang ia saksikan barusan, seakan terukir dalam darah dan tulangnya. Luka demi luka yang dikubur Bhirendra dalam diam, kini meledak dalam batinnya sendiri.
Bhirendra bukan hanya terluka, ia dipecah, diasingkan, ditinggalkan dan tetap berdiri, seorang diri.
Reina menutup mata sejenak, menenangkan napas. Namun suara dalam dirinya terus menggema: Bhirendra yang ia kenal selama ini, bukanlah pria tak berperasaan. Ia hanya terlalu terbiasa menyimpan rasa sakitnya dalam senyap.
Cahaya di sekitarnya memudar. Lahan berkabut berubah menjadi hening. Wisesa Dirgha kembali berdiri di ambang kegelapan, tubuhnya masih menyala dalam api kebiruan, namun kini lebih tenang.
“Apa yang kau lihat bukanlah untuk menumbuhkan kasihan,” suara Wisesa Dirgha menggema berat. “Tapi untuk menunjukkan bahwa keberanian sejati bukan selalu tentang menang dalam pertempuran. Kadang, keberanian adalah diam dalam luka yang tak bisa disembuhkan.”
Reina berdiri perlahan. Matanya menatap makhluk raksasa itu—bukan dengan gentar, tapi dengan hormat.
“Aku tak kasihan padanya,” jawab Reina pelan, suaranya serak oleh emosi. “Tapi aku… mengerti.”
Wisesa Dirgha mengangguk. Ketiga matanya menyala serempak, dan kabut mulai berputar di sekeliling Reina.
“Maka kau telah lulus ujian.”
Seketika, angin menyapu tubuh Reina. Ia merasakan tanah di bawahnya bergetar dan perlahan berubah. Cahaya melingkupinya. Dan saat ia membuka mata, dunia telah berubah kembali.
Ia terhempas ringan ke tanah berbatu, di depan Gerbang Petaka yang menjulang dalam keangkuhan senyap dan di sana, Bhirendra berdiri membelakanginya, tubuhnya penuh luka, nafasnya tak teratur. Prabawa Samayoga masih tergenggam erat dalam tangan berlumur darah. Ia seolah tak sadar Reina telah kembali. Ia hanya berdiri di hadapan gerbang itu—memandang ke satu titik yang tak terlihat, seperti menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.
Reina bangkit, mendekat perlahan. Untuk pertama kalinya, ia melihat sosok itu tanpa topeng apatis. Bhirendra terlihat manusiawi. Punggung lebarnya kini bergetar menahan kecemasan dan rapuh yang bersamaan. Meski tetap tegak, Ksatria yang tertutup itu seolah lelah menunggu harapan.
Reina menyentuh bahunya dan Bhirendra menoleh secepat kilat. Mata mereka bertemu. Diam saling memandang. Tak ada gerak, tak ada kata yang keluar. Akan tetapi, dari sorot mata mereka, ada sesuatu yang lebih dalam dari sebuah percakapan: pengakuan diam-diam bahwa keduanya telah saling memerdulikan, saling membutuhkan.
"Kau menungguku?" bisik Reina sambil tersenyum. Rambut panjangnya yang kini tergerai, tertiup melambai oleh angin yang membawa kehangatan.
Bhirendra berjalan pelan, mendekatinya. Menelisik dengan sorot lembut-lebih lembut dari sebelumnya-kepada Reina. Hingga napas leganya terdengar dalam ucapan lirih, "hmm, kau kembali."
Gerbang Petaka perlahan terbuka, menganga dalam suara batu yang menggesek waktu, dan dari balik kabut, pancaran cahaya keperakan menyala—menandakan bahwa Salaka Dirgha, tombak pelindung dimensi, kini menunggu pemiliknya.
Pancaran cahaya keperakan dari dalam Gerbang Petaka perlahan menyusut, berpilin seperti benang takdir yang ditarik lembut oleh kekuatan gaib. Di tengah pusaran cahaya itu, Salaka Dirgha—tombak agung peninggalan jagat purba—menggantung di udara, menjulang anggun dengan ujungnya yang bersinar bagaikan sabit bulan, berhiaskan aksara hidup yang terus bergerak seperti aliran waktu.
Langkah Reina tertuntun oleh Cakra Adhiwara di jarinya yang berdetak pelan, seolah beresonansi dengan energi tombak tersebut.
Tanpa sentuhan, Salaka Dirgha terangkat. Tubuh logamnya bergetar hebat sesaat, sebelum terselimuti cahaya menyilaukan yang meluncur cepat menyatu ke dalam cincin di jari Reina.
Denting logam terdengar namun tak seperti suara biasa—itu seperti gema janji yang ditulis ulang oleh semesta. Cahaya itu menghilang dan Salaka Dirgha kini telah menjadi bagian dari Cakra Adhiwara.
Aura tegang menguap. Kabut purba perlahan surut. Udara yang tadinya berat dan bergetar kini mengalir ringan seperti bisikan hutan tua. Akar-akar raksasa yang melingkar di sekitar Gerbang Petaka tampak mengendur, seolah tugas ribuan tahun mereka telah usai dan mereka kini boleh kembali tidur.
Tubuh Reina akhirnya melemah. Ia merosot pelan, bersandar di sebuah batu lebar di sisi gerbang. Napasnya masih tercekat. Matanya memejam, membiarkan denyut sisa sihir mengendap perlahan.
Tak jauh darinya, Bhirendra menjatuhkan diri. Duduk dengan punggung bersandar ke batu yang sama, hanya dipisahkan beberapa jengkal. Tangannya yang tadi sempat berdarah kini mengering, namun luka batin yang menggantung di wajahnya belum ikut memudar.
Sunyi turun ke antara mereka, seperti selimut yang tidak dingin, hanya sunyi. Napas yang saling terputus. Desir angin dari celah bebatuan dan satu kenyataan yang menggantung: mereka masih hidup.
“Jadi... kali ini pun kita tidak mati,” ujar Reina lirih, mencoba berkelakar dengan suara serak, tapi yang keluar justru kelegaan nyaris getir.
Bhirendra menyeka darah di sudut bibirnya dan mengangguk perlahan. Helaan napasnya berat. Tapi kali ini, ada rasa lega di sana.
Reina menarik lututnya, memeluknya lemah. Ia membaringkan kepalanya di atas lutut, matanya menatap teduh kearah pria yang ada di sampingnya. “Bhira...” bisiknya, nyaris tak terdengar, “terima kasih.”
Bhirendra menoleh perlahan. Meski tak menyangka akan mendapat apresisi dari gadis itu namun sorot matanya masih menyimpan ragu.
“Itu tugasku. Bukan sesuatu yang pantas untuk kau ucapkan,” sahutnya kaku. Bukan karena marah, tapi karena ia tidak tahu harus menaruh rasa terima kasih itu di bagian mana dari dirinya.
Namun Reina tersenyum kecil. Ia merangkak pelan mendekat, lalu meletakkan tangannya di luka Bhirendra yang belum sepenuhnya sembuh. Cahaya hijau lembut menyelimuti kulit yang koyak, menjahit kembali sobekan daging dan jaringan dengan sihir penyembuhnya.
Bhirendra membeku. Bukan karena sakit. Tapi karena sentuhan itu—hadir bukan sebagai beban, tapi kepercayaan.
Kemudian, sebelum ia sempat bertanya apa-apa, Reina merebahkan diri perlahan ke pangkuan Bhirendra. Kepalanya bersandar di paha pria itu, seperti seorang anak yang lelah pada perjalanan panjang yang terlalu rumit untuk dijelaskan.
“Bhira... Aku lelah,” ucap Reina pelan, menutup mata. “Bolehkan aku tidur? Sebentar saja.”
Bhirendra tertegun sesaat. Jantungnya berdetak semakin cepat. Kata-kata menumpuk di tenggorokannya, namun tak satu pun berhasil lolos. Ia hanya diam dan mengangguk pelan.
Namun kali ini, ia tidak menjauh. Tidak mengelak. Tidak mengusir. Tangan kirinya hanya diam di sisi Reina, sementara tangan kanannya tanpa sadar menekan dadanya yang berdenyut. Bhirendra membatu, tetapi kali ini ia tidak menolak kehadiran gadis itu.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian banyak luka, pertarungan, dan kesalahpahaman, Reina beristirahat di pangkuan seorang penjaga, yang perlahan mulai paham, bahwa melindungi tidak selalu berarti menjaga jarak.
Reina kini tertidur beralaskan rumput di pahanya, meringkuk seperti anak kecil yang tersesat di tengah badai. Nafasnya teratur, tapi wajahnya pucat, tubuhnya tampak menyusut di balik sisa-sisa kabut yang belum sepenuhnya sirna dari tanah Gerbang Petaka.
Bhirendra menatapnya tanpa berkata apa pun. Ia bahkan tak yakin kapan terakhir kali dirinya sedekat ini dengan seseorang—dalam jarak, dalam diam, dalam rasa yang tak punya nama.
Tangannya yang masih berdenyut perih perlahan terangkat. Ia membentuk pola sederhana di udara—mantra penenang yang biasa ia gunakan untuk menenangkan tidur sang Arunika. Sinar kebiruan menyelimuti Reina dengan lembut, membuat wajah gadis itu tampak lebih damai. Bhirendra menghela napas. Dalam diamnya, ada getir yang tertahan.
Dengan satu gerakan pelan, ia menyelipkan lengan di bawah tubuh Reina, mengangkatnya perlahan ke dalam gendongan. Ia berdiri tegak, namun langkahnya terasa sangat berhati-hati, seolah ia membawa sesuatu yang rawan pecah jika tersentuh dengan kasar.
Beban Reina tak berat. Tapi bukan itu yang membuat Bhirendra berjalan pelan. Sebuah perasaan yang menggantung di dadanya—rasa bersalah yang tak pernah ia akui, dan perasaan lain yang bahkan belum berani ia beri nama.
Langkah demi langkah ia ayunkan, menjauh dari batu-batu bekas pertempuran, dari medan yang masih menyisakan sisa energi purba. Angin malam kembali berembus. Lembut. Dingin. Seperti menguji ketenangan hatinya yang selama ini membatu.
Lalu…
Nama itu terdengar. Pelan. Samar. Namun cukup jelas bagi Bhirendra untuk terhenti di tempatnya.
“...Bhira…” Suara itu, keluar begitu saja dari bibir Reina yang masih terpejam.
Bhirendra menatap wajahnya dengan jantung yang berseteru. Sejenak, waktu seperti membeku. Nama itu, nama kecil yang hanya pernah didengarnya dari orang terdekat, yang merupakan panggilan khusus yang memiliki keintiman yang mendalam, kini terdengar merdu dan hangat di relung hatinya.
Dan kini, gadis asing dari dimensi lain yang ia tuduh, ia lawan, bahkan ia sakiti... justru menyebutnya dalam tidur. Dalam ketidakberdayaan. Dengan kelembutan yang tak disangka.
Rahang Bhirendra mengeras. Ia mengalihkan pandangannya ke langit yang kini bersih dari awan, lalu menunduk lagi. Perlahan. Dalam satu gerakan pelan, ia menunduk sedikit dan mengecup puncak kepala Reina. Ringan, cepat, tapi cukup untuk membuat detak jantungnya semakin tak karuan.
“Tidurlah,” bisiknya—suara yang lebih lembut dari biasanya. “Aku di sini. Aku tidak akan pergi.”
Ia kembali melangkah. Diam-diam, langkah itu membawa janji. Janji yang belum pernah terucap. Tapi sudah mulai tumbuh—di antara senyap, dan debar yang tidak ia mengerti.