Ketika Reina membuka matanya, dunia di sekelilingnya telah berubah. Ia berdiri di tengah sebuah aula besar yang dipenuhi orang-orang berpakaian resmi, wajah-wajah mereka muram dalam kesunyian yang tak wajar.
Di tengah ruangan itu, sebuah peti jenazah berukir lambang kerajaan diletakkan dengan penuh kehormatan. Namun bukan kemegahan yang mencolok, melainkan duka yang menyayat. Di sisi peti itu, seorang wanita muda berlutut, memeluk erat seorang anak lelaki yang tengah meraung pilu.
Reina menahan napas. Ia mengenali wajah anak itu. Rambut ikalnya panjang dan lebat, diikat rapi ke belakang. Mata hijaunya belum setajam sekarang, seolah masih menyimpan kehangatan, belum dibekukan oleh kenyataan. Itu adalah Bhirendra, dalam wujud kecil dan rapuh yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Ayah!" teriak bocah itu, suaranya pecah, menembus kesedihan yang menyayat kalbu. "Ayah, bangun! Kumohon... bangun...!"
Wanita di sampingnya, yang terus menangis dan merengkuhnya, kini juga terlihat jelas oleh Reina. Wajah yang mirip, hanya lebih lembut, lebih hangat dan dari tatapannya, Reina tahu, wanita itu adalah ibu kandung Bhirendra.
Kilasan itu bergeser.
Kini Reina melihat ibu dan anak itu meninggalkan istana dengan iring-iringan penghormatan. Para pelayan yang mengantar kepergian mereka menunduk penuh penghormatan. Namun tak ada yang benar-benar mengiringi perjalanan mereka. Ibu dan anak itu melewati gerbang utama dengan pakaian seadanya, membawa beban yang tak terlihat namun terasa berat. Mereka pergi ke tempat baru, dimana kaum Asraman kemiliteran tinggal.
Tempat baru yang sangat sederhana, tak seperti kediaman seorang bangsawan kerajaan yang nyaman. Pelayan yang tersisa pun bersikap biasa. Tatapan mereka acuh tak acuh, penuh penghakiman diam-diam. Seolah Bhirendra dan ibundanya bukan bagian dari kerajaan lagi. Hanya berupa sisa-sisa nama yang telah dilupakan.
Ibu Bhirendra semakin lemah dari hari ke hari. Wajahnya pucat, napasnya pendek-pendek, namun senyumnya selalu ia sisakan untuk putra tercintanya. Hingga pada suatu pagi yang dingin, senyum itu lenyap untuk selamanya.
Reina terhenyak kehilangan kata.
Kini, ia melihat Bhirendra kecil berdiri sendirian di hadapan pusara ibunya. Tidak menangis. Tidak meratap. Wajahnya yang diam, nyaris seperti batu. Tapi dari kebisuannya itu, Reina bisa merasakan sesuatu yang lebih mengerikan dari tangisan: Kehampaan.
Perubahan itu dimulai dari sana.
Kilasan kembali berpindah.
Reina menyaksikan Bhirendra remaja mengenakan seragam militer. Sorot matanya semakin tajam. Tubuhnya tegap, langkahnya tak ragu. Ia menjadi bagian dari pasukan elit. Berkali-kali terjun ke medan pertempuran, membawa kemenangan. Kejayaan bagi kerajaan Swatamita. Penghargaan demi penghargaan didapatnya tanpa rasa kebanggaan. Tak ada senyum kepuasan. Seolah ia bukan pejuang. Ia hanya sebuah pedang, senjata hidup yang tidak tahu lagi rasanya kasih sayang.
Bhirendra muda hidup seperti bayangan-bergerak, bertumbuh, bertarung, namun hampa. Hari-harinya diisi dengan disiplin yang membunuh rasa: pelatihan fisik sejak fajar, sihir strategis sebelum senja, dan pelajaran perang hingga larut malam. Di antara semuanya, tak ada ruang untuk tertawa. Tak ada tempat untuk mengingat bahwa ia pernah menjadi anak kecil yang kehilangan segalanya.
Namun sesuatu perlahan mengubah arah itu.
Radeeva.
Datang seperti badai kecil yang tak bisa diabaikan. Terlalu banyak bicara, terlalu mudah marah, dan terlalu sulit ditebak. Tapi justru itulah yang membuatnya bertahan dalam dunia Bhirendra yang terlalu sepi. Radeeva tak pernah takut pada diamnya, tak gentar menantang sorot matanya yang dingin. Ia hadir tanpa diminta, mulai mengisi ruang kosong yang bahkan tak disadari Bhirendra sebagai kekosongan.
Mereka bertumbuh bersama. Radeeva belajar mengendalikan sihir langka sebagai seorang calon Panarasa murni, sementara Bhirendra tetap menjadi prajurit yang tak kenal lelah. Saat Radeeva dipandang rendah oleh keluarganya sendiri-karena latar belakang ibunya-Bhirendra berdiri di belakangnya. Diam, namun setia.
Ia tidak pernah membela dengan kata-kata manis. Tapi ketika Dewan Pertahanan meragukan posisi Radeeva di lingkaran sihir dalam, Bhirendra berkata tegas, "kemampuan magis Pangeran Kedua jauh melampaui umurnya. Kalian butuh seorang Panarasa berkualitas untuk menjaga esensi menara, bukan sebuah nama keluarga belaka."
Tak ada tepuk tangan. Tapi keputusan pun bergeser. Namun, waktu tak pernah berhenti. Kilasan kenangan berubah lagi. Reina menyaksikan potongan peristiwa lain-kali ini lebih gelap, lebih mengerikan.
Bhirendra berdiri di Aula Keabadian, puncak tertinggi Menara Cahaya, sebagai pelindung Batu Somo-pusat resonansi jiwa dan keseimbangan batas antar dunia. Ia tak lagi remaja. Sorot matanya setajam ujung pedangnya. Karakternya semakin kuat dan sedingin yang diharapkan para tetua dunia militer konvensional. Ia seolah ditempa untuk terbiasa melihat darah dalam kacamata kewarasan, dan pemandangan itu membuat Reina bergidik tanpa ia sadari.
Pasukan elit yang dipimpin Bhirendra mengitari menara, berjaga dalam formasi lengkap dan kuat. Hari itu harusnya biasa-ritual penyelarasan energi berlangsung rutin. Tapi langit mendadak berubah. Angin menderu membawa bau belerang dan debu hangus.
Dan tanpa peringatan, kegelapan turun seperti tirai kutukan.
Panarasa Hitam datang. Tidak dari satu sisi, tapi dari celah-celah realitas. Mereka tidak hanya membawa kekuatan sihir terlarang, tapi juga kebencian dari dimensi purba yang lama terlupakan.
Pertarungan tak terelakkan. Tak seperti pergulatan biasa. Ini adalah sebuah tragedi pembantaian.
Satu per satu, prajurit elit roboh. Pilar-pilar sihir di sekitar menara hancur. Batu Somo mulai retak, memekik pelan seperti suara jiwa yang disayat. Dan di tengah itu semua, Bhirendra tetap berdiri. Tubuhnya penuh luka, tapi matanya tetap tak goyah.
Ia berjuang seperti satu-satunya tembok terakhir. Dan memang, hanya ia yang tersisa. Akan tetapi, bahkan tembok yang paling kokoh pun bisa runtuh jika dipukul terus-menerus dari dalam.
Satu serangan mematikan menghantam Batu Somo. Ledakan sihir terjadi, membelah ruang. Inti jiwa yang terikat dalam batu tercerai berai, membentuk delapan artefak yang terpencar ke seluruh belahan dimensi. Cahaya biru yang menyelubungi menara berubah menjadi kilatan perpisahan. Tubuh Bhirendra terlempar, terhempas oleh kekuatan yang tak bisa ia lawan.
Dan setelah semuanya, hanya keheningan yang tersisa.
Darah, debu, dan reruntuhan. Tak ada yang datang menyelamatkan. Tak ada yang mencatatkan pengorbanan itu. Dunia terus berjalan, seolah tidak ada yang hilang. Hanya Bhirendra yang tahu, dan ia menyimpannya di dalam-di balik mata hijau gelap yang tak pernah bisa lagi memancarkan kehangatan.
Seolah belum cukup, kehancuran Menara Cahaya hanyalah permulaan dari sebuah luka yang lebih dalam.
Ketika debu belum sepenuhnya mereda dan Bara jiwa masih menggantung di udara, Bhirendra justru diseret dari reruntuhan sebagai pesakitan. Para pengamat kerajaan, buta oleh kepanikan dan kehausan akan kambing hitam, menunjuk prajurit agung itu sebagai penyebab lenyapnya Batu Sakral yang dimuliakan.
"Ia penjaganya," ujar mereka. "Dan kini inti jiwanya hilang."
Dewan Agung tak memberi ruang bagi penjelasan. Di balik dinding-dinding istana yang megah, suara keputusan menggelegar tanpa belas kasihan. Bhirendra dijatuhi hukuman: kurungan di penjara bawah tanah Swastamita, tempat yang bahkan cahaya sihir enggan tinggal lama.
Di sana, tubuhnya ditempa oleh siksaan yang diam-diam disahkan, namun tak pernah dicatat dalam sejarah. Rantai sihir membelit pergelangan dan bahunya, menekan titik-titik energi hingga tubuhnya gemetar tanpa perlawanan. Tapi Bhirendra tidak berteriak. Ia tidak membela diri. Ia menerimanya seperti seekor burung yang patah sayapnya.
Dalam sunyi yang memantul di dinding lembap penjara itu, hanya satu bisikan yang terus bergema dalam hatinya, "Aku gagal."
Kemampuan yang selama ini diagungkan, kekuatan yang disebut-sebut sebagai tak tertandingi-semuanya hancur, dan meninggalkannya dalam lumpur penyesalan yang tak bisa dikeringkan oleh waktu.
Namun tragedi itu belum berhenti.
Sisa sihir terlarang dari Panarasa Hitam yang belum sepenuhnya lenyap, entah bagaimana, merasuk dalam luka-luka terdalam Bhirendra. Saat tubuhnya melemah dan batas kesadarannya goyah, kekuatan gelap itu menyatu dengan raganya. Ia mengamuk. Tak sadar. Tak terkendali.
Dalam ledakan sihir mematikan, ia menghancurkan sebagian area dalam istana, dan dalam kekacauan itu-dengan mata penuh horor-Radeeva menyaksikan ibu angkatnya, Sasavati, tumbang di depan matanya. Tewas dalam sekejap oleh semburan kekuatan yang keluar dari tubuh Bhirendra sendiri.
Kemarahan Radeeva membuncah. Tak ada ampun. Ia mencabut sihir, siap membunuh pria yang telah merampas satu-satunya keluarga yang masih ia punya.
Akan tetapi, meski dalam kondisi kritis tersebut dan dikelilingi oleh sihir kematian, Bhirendra hanya diam. Matanya kosong. Seolah ia pasrah, atau mungkin, seolah ia pun tidak tahu siapa dirinya saat itu.
"Kau... monster berdarah dingin!" teriak Radeeva, penuh getir.
Tapi, pria yang dikatakan pembunuh tak punya hati itu tak membela diri dan itu, justru membuat Radeeva semakin sakit hati. Dalam dendam, ia memendam kesalahpahaman tak berujung hingga hari ini.
Kilasan bergeser. Kini beralih pada situasi dimana hanya segelintir orang yang tahu kebenaran di balik kejadian tragis yang memilukan beberapa waktu yang lalu. Tidak ada yang tahu bahwa tubuh Bhirendra kini berbeda, terpapar energi hitam dari mantra terlarang. Maharaja dan Panatua Mahawira menutup mulut, seolah aib dan sepakat menyembunyikannya dari dunia luar.
Setelah kejadian itu, hubungan Radeeva dan Bhirendra terpecah. Dingin tak berbatas. Tak ada klarifikasi. Tak ada jembatan untuk menyatukan kembali kepercayaan yang sudah patah.
Radeeva menjauh, mencurahkan dirinya sepenuhnya dalam dunia sihir tingkat tinggi. Ia ingin diakui. Oleh Maharaja. Oleh dunia. Dan mungkin... oleh dirinya sendiri. Bahwa ia bukan hanya bayang-bayang seorang pangeran buangan, melainkan penerus kekuatan magis dari Panarasa murni yang berbakat.
Sementara Bhirendra, memilih menyendiri di barak militer, menjalani pengobatan rahasia bersama Panatua Mahawira. Tapi luka terbesar bukan di tubuhnya, melainkan di tempat yang tak bisa dijangkau sihir penyembuh mana pun: hati dan harga dirinya. Ia bertahan, bukan karena harapan. Tapi karena tidak tahu bagaimana caranya mati.
Dan sejak hari itu, dua orang yang pernah berjalan sejajar, tak lagi saling menoleh ke belakang.