"Banyak shinobi mati dengan cepat, bukan karena mereka lemah. Tapi karena mereka tak mengerti pentingnya diam." Uchiha Ganja berbisik di pinggir tanah latihan keluarganya.
Hujan semalam masih meninggalkan aroma tanah basah yang pekat saat matahari pagi mencoba menembus awan tipis. Di pekarangan belakang rumah utama keluarga Uchiha, angin dingin mengusap rerumputan liar yang tumbuh di antara batu-batu jalanan.
Uchiha Aren, bocah lelaki berusia tujuh tahun, berdiri mematung di tengah tanah latihan keluarganya. Di tangannya, sebuah busur panjang tradisional, dibuat dari kayu keras yang dilapis urat logam chakra halus. Tingginya hampir menyamai tubuhnya. Di sebelahnya, sebuah tabung anak panah tersandar pada batang kayu berdiri tegak.
Ayahnya, Uchiha Ganja, berdiri di belakangnya—tenang, lurus, dan mengenakan zirah merah usang yang sama seperti yang ia kenakan hampir setiap hari. Bahkan untuk latihan di halaman sendiri. Rambut hitamnya diikat setengah, dan mata tajamnya mengamati postur anaknya dengan kritis.
"Tarik lebih dalam, Aren," suaranya datar tapi dalam. "Bahu kananmu turun. Angkat siku kiri. Jangan pandang target. Rasakan dia."
Aren menarik napas panjang, mencoba menyesuaikan tubuhnya sesuai instruksi. Panah ditarik perlahan, otot lengan menegang, jari gemetar karena tekanan.
Lalu—lepaskan.
TWANG!
CLANK.
Panah itu memantul lemah dari papan logam target, terjatuh ke tanah seperti ranting basah.
Hening.
Dari sisi halaman, terdengar suara tertawa pelan.
“Pfft! Serius, Ganja? Memanah? Dia anak kita, bukan pemburu babi hutan.”
Yuika, ibunya, duduk bersila di atas pagar kayu pendek, mengenakan pakaian latihan abu-abu yang longgar, memperlihatkan otot-otot padat yang terbentuk sejak usia remaja. Tingginya 188 cm, dan bayangannya menutupi hampir sepertiga bagian arena latihan kecil itu.
"Jaman shinobi sudah maju. Lihatlah dunia luar, semua pakai shuriken peledak, kunai bercabang, bahkan segel ledak. Tapi kamu malah ngajarin anak panahan? Mau dibully satu klan?"
Ganja tidak menoleh. Dia hanya berjalan perlahan ke arah target, mengambil panah yang terjatuh, lalu menunjukkannya pada Aren.
“Lihat bagian belakangnya.”
Aren mengamati. Ujung panahnya sedikit bengkok. Tak cukup keras. Tarikannya lemah.
“Panah bukan hanya soal menancap, Aren. Panah adalah seni menyampaikan kematian… tanpa suara.”
🏹 Pelajaran dari Zaman Lama
Ganja mengambil satu panah lain dari tabung kayu di belakangnya. Ujungnya bukan logam biasa—melainkan logam chakra campuran dari tanah tinggi utara, dengan tekstur yang lebih padat dan kilau kebiruan. Anak panah ini lebih panjang, lebih berat, tapi jauh lebih halus di ujungnya—dirancang bukan untuk merusak, tapi untuk menembus.
“Perhatikan baik-baik.”
Ia berdiri tegak. Busur diangkat perlahan. Kakinya terbuka selebar bahu. Napasnya dalam tapi tak terdengar. Lalu, dalam sekejap—
FWWP.
TUP.
Panah itu melesat nyaris tanpa suara dan menembus tiga lapis pelat logam yang disusun secara vertikal. Lubang yang ditinggalkan begitu bersih, nyaris tak meninggalkan retakan. Tak ada percikan. Tak ada ledakan. Hanya keheningan.
Aren ternganga. Bahkan ibunya, meski tersenyum geli, tidak bisa menyembunyikan rasa terkesannya.
“Aku bisa lempar batu lebih cepat dari itu,” ujar Yuika santai, “tapi… oke. Itu bersih.”
Ganja menyeringai kecil. “Kebanyakan shinobi terlalu bangga dengan suara ledakan. Padahal... kadang, satu lubang kecil di tengkuk musuh jauh lebih menyelesaikan konflik.”
Yuika mendecak. “Masalahnya, suaramu lebih kuno dari panahmu.”
💀 Latihan yang Tak Lembut
Selama satu jam berikutnya, Aren dipaksa menarik puluhan panah. Ganja terus mengoreksi dengan suara dingin: “Terlalu cepat,” “Tidak fokus,” “Tarik napas, jangan tekan otot bahu.”
Tangan Aren gemetar. Kulit jarinya mulai lecet. Tapi dia tidak berhenti.
Ibunya sesekali menawarkan air dan handuk. Ganja menolak untuk menghentikan sesi—ia percaya tekanan fisik adalah bagian dari pemurnian mental.
“Panah tidak diajarkan ke bocah yang manja,” katanya, sambil menahan tangan Aren yang hampir tidak bisa membuka genggaman dari busur. “Panah diajarkan ke pembunuh yang sabar.”
“Di dunia sebelumnya, panah adalah senjata yang ditinggalkan. Senjata sejarah. Tapi di sini… aku melihat bagaimana satu panah bisa jadi kunci kemenangan.”
“Ayahku bukan ninja seperti yang kukenal dari anime. Dia bukan pelontar jutsu, bukan pengguna jurus canggih… dia adalah seorang algojo. Satu tebasan. Satu tembakan. Satu lubang bersih. Dan aku... sedang ditempa menjadi pewarisnya.”
Setelah satu set terakhir, Aren akhirnya berhasil menembus satu pelat logam dengan bersih. Masih jauh dari tiga lapis seperti yang dilakukan ayahnya. Tapi bagi anak berumur tujuh tahun dengan tangan lecet, itu adalah kemenangan kecil yang besar.
Ayahnya diam, tapi tak menjauh. Dia mengangguk pelan. Itu saja sudah cukup sebagai pujian.
Ibunya mendekat, memeriksa jari-jari Aren. “Kamu gila,” katanya ke Ganja. “Lihat ini. Lecet semua.”
“Tapi dia menembus pelat, bukan?”
Yuika menggulung mata. “Kau keras kepala seperti batu. Tapi... dia memang mulai mirip kau.”
Aren tersenyum kecil. Rasanya aneh. Tapi untuk pertama kalinya, dia merasa senjata ‘kuno’ itu cocok dengannya. Bukan hanya secara teknik. Tapi secara jiwa.
Satu Panah, Satu Lubang. Tanpa Suara, Tanpa Jejak.
Di era kunai, segel, dan jurus ledakan… panah mungkin dianggap lelucon. Tapi bagi Aren, hari ini adalah langkah pertama menuju seni kematian dalam senyap.
Suatu hari, ketika mata-mata musuh menyebar dan medan tempur dibanjiri jutsu... mungkin satu panah akan jadi penentu nasib perang.