Angin malam menyusup masuk lewat celah jendela menara waktu.
Rania berdiri diam di hadapan Gerbang Pusat Inti Waktu, bersama Kael, pria yang selama ini hanya hidup dalam cerita kelam dan luka Alendra.
Tangannya gemetar.
Bukan karena takut… tapi karena harapan dan bahaya kini berada di titik yang sama.
“Gerbang ini sudah tertutup ratusan tahun,” bisik Rania. “Tak ada yang bisa membukanya…”
Kael mengulurkan telapak tangan ke simbol jam pasir di tengah pintu. “Kecuali orang yang pernah mengunci dirinya sendiri di dalamnya.”
Lalu, dengan satu mantra kuno yang hanya dikenal para pencipta waktu, ia berkata:
> “Qavarel Nastrum…”
Cahaya biru menyembur keluar dari gerbang.
Denting jam memenuhi udara.
Lalu… pintu terbuka.
---
Yang tampak di baliknya bukan lorong biasa.
Ruang ini adalah waktu mentah.
Bentuknya kabur. Udaranya berat. Tapi dalam setiap detik yang mengalir, terdapat ribuan kenangan yang terperangkap.
Kael menatap Rania. “Temukan satu hal yang paling kau butuhkan untuk bertahan. Tapi hati-hati…”
> “Kalau Omega sudah masuk lebih dulu… kenangan itu bisa menipumu.”
Rania mengangguk. Ia melangkah perlahan, memasuki ruang di mana masa lalu tak lagi diam.
Setiap langkahnya menyentuh lantai, kenangan terbuka di sampingnya.
Dirinya yang kecil, berlari ke arah ibunya sambil membawa bunga liar.
Suara tawa Kaen saat mereka menari di taman waktu.
Arven yang mengusap air matanya diam-diam saat hari pengangkatannya sebagai ratu.
Ia nyaris jatuh berlutut.
> Semua ini… begitu akrab.
Tapi semuanya terasa asing.
> “Apakah ini benar milikku?” bisiknya.
“Atau hanya ilusi dari luka yang ingin kusimpan?”
---
Tiba-tiba, suara langkah lain terdengar.
Rania menoleh cepat. Dan matanya membelalak.
Kaen.
Dia berdiri di sana, dengan senyum lembut. Mantelnya bersih. Tatapannya hangat.
“Kaen…” bisik Rania.
Ia berlari. Hampir menjangkaunya. Tapi saat tangan mereka hampir bersentuhan…
> Tubuh Kaen berubah jadi kabut hitam.
Dan dari balik bayangan itu, muncul Omega.
> “Kau datang terlalu jauh, Ratu Waktu.”
“Bahkan kenanganmu tidak lagi milikmu.”
“Kau tidak bisa menyelamatkan sesuatu yang telah kami cabik dari akarmu.”
Rania menggertakkan gigi.
> “Kalau aku tak bisa mengingat mereka…”
“Maka aku akan menciptakan ulang cinta mereka dalam setiap pertempuran yang aku menangkan.”
Ia mengangkat tongkat waktu.
> “Aku mungkin kehilangan masa kecilku. Tapi aku tidak kehilangan kekuatan untuk mencintai.”
“Dan itu… cukup untuk menghancurkanmu.”
Omega tertawa sinis. Tapi Kael melangkah maju, berdiri di antara Rania dan kegelapan.
“Biar aku yang menahannya,” kata Kael. “Ambil kembali fragmenmu. Sekarang!”
---
Rania menutup mata. Ia membiarkan sihirnya terhubung dengan aliran waktu. Menembus kabut. Melewati trauma. Melampaui luka.
Dan akhirnya…
> Ia melihat dirinya yang kecil… memeluk ibunya yang sedang menyulam.
> Suara ibunya terdengar jelas, hangat, dan tak tergantikan:
> “Kau boleh menangis, Rania… Tapi jangan pernah berhenti berjalan.”
Satu tetes air mata jatuh.
> Dan saat itu juga—fragmen kenangan terpentingnya kembali.
Cahaya menyembur keluar dari tubuhnya. Omega menjerit.
Kael menahan bayangan itu, memberi waktu agar gerbang tertutup kembali.
“Pergilah!” teriaknya. “Aku akan menahan dia di sini!”
“Kael!”
“Bilang pada Alendra…” Kael tersenyum, “…bahwa aku bukan pahlawan. Tapi aku memilih jadi ayah… meski di akhir.”
---
Gerbang menutup.
Rania jatuh ke lantai, menggenggam kristal fragmen kenangan yang sekarang hidup di tangannya.
Dan di luar… langit Auralis mulai bergetar.
---
Di sisi lain Auralis…
Alendra berdiri di menara pengawas utara.
Dua kabar datang bersamaan.
1. Ibunya—Vera—yang selama ini diyakini tewas dalam ledakan dimensi waktu, ternyata terjebak di lorong bayangan dan mengirim sinyal minta tolong.
2. Pasukan Omega telah menembus celah utara Auralis dan mengarah langsung ke pusat sihir utama.
Alendra hanya bisa memilih satu.
Jika ia pergi ke lorong bayangan, ia mungkin bisa menyelamatkan ibunya…
Tapi jika ia bertahan, ia bisa menjaga agar Omega tidak memusnahkan pusat Auralis.
Elvaron berdiri di sampingnya, diam.
> “Kalau kau menyelamatkan ibumu… kita kehilangan kekuatan pusat.”
“Kalau kau bertahan… kau kehilangan dia… selamanya.”
Alendra menatap langit.
Lalu menatap ke tanah.
Dan dalam hatinya, ia berkata:
> “Apa gunanya jadi anak dari dua dunia, kalau tak bisa menyelamatkan satu pun?”
Akhirnya, ia menggenggam pedang sihirnya, dan berkata:
> “Aku akan bertahan di sini.”
“Kalau ibuku hidup… dia akan mengerti.”
Dan di ujung lorong waktu, suara Vera terdengar… samar.
> “Anakku… aku bangga padamu… bahkan jika kau tak bisa menolongku.”