Hari itu langit Auralis mendung. Tidak seperti biasanya. Kabut tipis menggantung di sekitar menara, seolah langit sendiri sedang menahan napas atas apa yang baru saja terjadi.
Di dalam ruang perawatan utama istana, Elvaron duduk di tepi ranjang, mengenakan jubah biru muda dengan simbol matahari dan bulan di dada. Rambut panjangnya kini diikat rapi ke belakang. Wajahnya tampak tenang, namun di balik tatapan lembutnya—ada sesuatu yang sulit ditebak.
Rania berdiri beberapa langkah darinya. Canggung. Terpukau. Dan bingung.
“Jadi... kau benar-benar saudara kembar Arven?” tanyanya pelan.
Elvaron menatapnya, senyumnya tipis. “Dalam darah, ya. Tapi dalam pandangan kerajaan... aku hanya bayangan dari takhta.”
“Kau menghilang tiga tahun lalu.”
“Salah. Aku tidak menghilang,” katanya tenang. “Aku disembunyikan oleh waktu. Karena waktu ingin aku menemukanmu.”
Deg.
Rania mengerjapkan mata. “Menemukanku? Tapi... kita bahkan belum pernah bertemu.”
Elvaron berdiri perlahan. Tubuhnya tinggi dan tegap, tapi setiap gerakannya seperti angin—lembut dan tidak pernah tergesa.
“Kita bertemu. Di mimpimu, bukan?”
Rania membeku.
Ia belum pernah memberitahu siapa pun tentang mimpi itu. Tentang suara lembut yang memanggil namanya dari balik kabut waktu.
“Bagaimana kau tahu?”
Elvaron menatap gelang di tangannya. “Karena aku yang mengirimkan petunjuk itu. Gelang waktu milikmu adalah kunci. Dan hanya satu jiwa yang bisa membukanya… pemilik takdir yang tersesat.”
Langkah kaki terdengar dari luar. Arven masuk. Wajahnya tidak lagi sekadar dingin. Ada tekanan di matanya. Ketegangan.
“Elvaron, kita perlu bicara. Sendirian.”
Elvaron menoleh perlahan, namun tidak menjauh dari Rania. “Kita akan bicara. Tapi aku tak akan pergi jauh dari Rania.”
Rania langsung menunduk. Arven melirik ke arahnya sekilas sebelum kembali ke saudaranya.
“Dia bukan milikmu,” ucap Arven dingin.
“Bukan milikmu juga,” jawab Elvaron dengan nada lembut yang justru terasa lebih menusuk.
Rania merasa seperti sedang berada di tengah dua kutub yang saling tarik-menarik.
“Berhenti,” katanya akhirnya, suaranya bergetar. “Aku... aku butuh waktu. Semua ini terlalu cepat.”
Elvaron melangkah pelan ke arah pintu, lalu menatap Rania sekali lagi sebelum pergi. “Ambil waktumu. Tapi ingat, waktu tidak akan selalu menunggumu.”
Saat pintu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan. Rania berdiri menatap gelang waktu di tangannya. Kedua jarum jamnya kini bergerak. Tapi anehnya… satu jarum bergerak ke depan, dan satu lagi ke belakang.
Dua arah.
Dua hati.
Dan Rania berdiri tepat di tengahnya.
---
Sore itu, Rania duduk sendiri di taman, tepat di bawah pohon besar dengan daun keperakan. Angin sejuk menyentuh pipinya. Di kejauhan, ia bisa melihat Elvaron sedang berbicara dengan beberapa penjaga istana—dengan cara yang hangat dan mudah didekati. Berbeda dengan Arven yang selalu menjaga jarak.
Namun saat ia menoleh ke sisi lain taman, Arven juga ada di sana. Menatapnya diam-diam.
Satu menatapnya seperti melindungi.
Satu menatapnya seperti memanggilnya pulang.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Rania takut pada satu hal:
Perasaan.
Karena jika waktu bisa diputar balik… bisakah hati juga?