Kota pilar terakhir. Terletak di antara pegunungan sunyi dan lembah berkabut, kota ini pernah menjadi pusat pengetahuan dunia lama. Tapi pagi itu, cahaya mentari tak mampu menembus kabut kelabu yang menggantung di atasnya. Udara di sana menggigit, dan tanahnya... bergetar pelan, seolah menahan napas terakhir sebelum semuanya runtuh.
Abbas dan pasukannya tiba di gerbang luar kota saat matahari baru setengah terbit. Lentera-lentera di dinding batu menyala dengan nyala biru tanda bahwa segel spiritual masih bertahan, tapi mulai melemah.
“Gerbang dijaga ketat,” ujar Kaelus, mengamati siluet-siluet penjaga di atas tembok. “Tapi bukan oleh kita.”
Dari balik kabut, muncul puluhan sosok berjubah gelap. Mata mereka menyala ungu samar. Wajah-wajahnya tumpul, seperti boneka tanah liat hidup.
“Eliran hampa...” bisik Elira. “Mereka ciptaan Zhun. Makhluk dari kenangan kosong. Tak punya jiwa... hanya perintah.”
Pasukan Cahaya bersiap. Zera memimpin barisan kiri. Kaelus dan Maelya berada di kanan. Abbas berdiri di tengah, dengan Elira di sisinya.
“Jangan serang dulu,” kata Abbas. “Biarkan aku mencoba bicara.”
Ia melangkah maju. Kabut mengalir di sekitarnya.
“Zhun,” teriaknya. “Aku tahu kau ada di sini! Ini bukan caramu. Bukan seperti ini kau melindungi dunia!”
Hening.
Lalu... suara langkah bergema.
Dari tengah para Eliran, Zhun muncul. Jubah hitamnya seperti tertarik angin dari arah yang tak kasat mata. Wajahnya tetap tenang. Tapi kali ini, mata itu mata kelam tak berbintang menyimpan sesuatu yang nyaris... ragu.
“Kau datang,” katanya.
“Elira ada di sini,” jawab Abbas. “Dan dia tahu siapa dirimu yang sebenarnya.”
Zhun menatap Elira yang berdiri di samping Abbas. Ada jeda panjang sebelum ia bicara.
“Adikku... seharusnya kau tidak kembali ke tempat ini.”
Elira melangkah maju. “Zhun, jangan lanjutkan ini. Aku tahu dunia pernah mengkhianatimu. Tapi membiarkannya hancur bukan jawaban.”
Zhun tersenyum tipis, tapi sedih. “Dunia tak pernah mengkhianati kita, Elira. Dunia hanya menunjukkan siapa yang kuat dan siapa yang dibuang. Aku memilih untuk tak dibuang lagi.”
Ia mengangkat tangannya.
Eliran hampa menyerang.
Pertempuran pecah seketika.
Ledakan cahaya dan bayangan mewarnai langit pagi. Suara denting logam, jeritan, dan retakan tanah memenuhi udara. Pasukan Cahaya bertarung mati-matian untuk menahan gelombang makhluk tanpa jiwa.
Zera berteriak sambil mengayunkan pedang bercahaya miliknya. “Lindungi garis belakang!”
Kaelus memanggil serangan sihir berbentuk tombak petir dari langit, menyambar barisan Eliran.
Sementara itu, Abbas dan Elira bertarung bahu-membahu, membelah jalur menuju Zhun.
Abbas menangkis serangan dari tiga arah sekaligus, cahaya Solara-nya kini lebih lembut tapi tajam, seperti api tenang yang tak padam. Elira meluncur ke depan, sayap peraknya bersinar terang, pedangnya menari lincah dan mematikan.
Zhun tetap berdiri di tengah lapangan, tak bergerak.
Sampai akhirnya, Abbas berhasil melompat tepat di hadapannya. Pedangnya terangkat. Tapi Zhun hanya menatap.
“Bunuh aku, jika itu yang kau inginkan,” katanya pelan.
Abbas menahan pedangnya. Nafasnya berat.
“Aku tidak ingin membunuhmu.”
Zhun tersenyum samar. “Tapi kau harus. Karena aku... sudah tak bisa kembali.”
Namun, sebelum Abbas bisa menjawab, bayangan raksasa turun dari langit. Kabut hitam menggulung dari segala arah, dan dari baliknya, sosok raksasa berselubung kegelapan muncul Val’Tharok.
Wujudnya belum sempurna. Masih seperti roh api kelam yang tertutup kabut. Tapi cukup nyata untuk membuat bumi bergetar.
Semua pasukan terhenti. Bahkan Eliran pun membeku.
“Bersujud...” suara Val’Tharok menggema. “Karena Cahaya terakhir akan padam malam ini.”
Zhun berbalik. “Bukan sekarang. Kau berjanji !”
“Terlalu lama aku menunggu di balik segel,” potong Val’Tharok. “Sekarang... aku sendiri yang akan membuka gerbang terakhir.”
Ia mengangkat tangannya, dan segel batu di tengah kota mulai retak.
Abbas berteriak, “JANGAN BIARKAN DIA MENYENTUH PUSAT SEGEL!”
Pasukan Cahaya kembali bergerak, tapi Val’Tharok melemparkan gelombang tekanan gelap yang membuat tanah pecah dan sebagian prajurit terpental ke udara.
Elira mengepakkan sayapnya, terbang ke arah pusat segel.
Zhun mengejarnya.
“ELIRA, HENTIKAN!” teriak Zhun. “KAU TIDAK BISA MELAWANNYA SENDIRI!”
Elira berbalik di udara, menatap Zhun dari atas. “Maka bantu aku.”
Dan untuk pertama kalinya... Zhun ragu.
Ia melihat Val’Tharok menghancurkan satu demi satu bagian segel dengan mudah, dan sesuatu dalam dirinya dalam sisa-sisa kenangan manusianya berteriak: cukup.
Zhun melompat dan menyusul Elira.
Abbas melihat itu dari kejauhan. “Dia... bertarung bersama Elira?”
Pertempuran pun berubah bentuk.
Tiga cahaya menyatu di langit:
Abbas dengan Solara yang baru.
Elira dengan Liris yang bersinar terang.
Dan Zhun, si Bayangan Kedua, yang kini menolak perintah tuannya.
Val’Tharok menggeram. “Pengkhianat.”
Zhun menatapnya. “Aku bukan bayanganmu. Aku... masih punya nama.”
Mereka bertiga menyerang bersamaan. Serangan silang dari tiga sisi meledak di tubuh Val’Tharok, mendorongnya mundur beberapa langkah. Tapi ia tertawa.
“Lawanlah. Hancurlah. Karena malam sebenarnya... belum dimulai.”
Dan saat debu pertarungan mulai turun, satu pertanyaan menggantung di udara: Apakah Zhun benar-benar telah memilih? Atau ini hanya langkah pertama menuju akhir yang lebih gelap?