Cherreads

Chapter 9 - 9

Di sebuah gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, suasana di dalam ruang kerja mewah terasa hening dan penuh ketegangan.

Seorang pria paruh baya duduk di kursi eksekutifnya, menatap keluar jendela yang menampilkan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian. Dia sedang menunggu seseorang yang membawa jawaban atas keresahan hatinya selama ini.

Tok... tok...

"Permisi, Tuan. Saya Herman, dari intelijen serikat. Saya datang membawa informasi yang Anda minta," ujar pria itu sambil melangkah masuk dengan rapi, lalu menyerahkan sebuah map cokelat tebal.

Pak Biromo mengangguk pelan. "Duduklah dulu," ucapnya tanpa menoleh. Ia mengambil map itu, membuka lembar demi lembar dengan tangan sedikit bergetar.

Begitu mata Pak Biromo menangkap nama Mia dalam laporan itu, ekspresinya berubah drastis. Matanya berkaca-kaca, napasnya tercekat.

"Jadi... benar dia anakku... anak dari Ana..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.

Rasa bahagia dan sedih bertabrakan dalam dadanya. Ia merasa bahagia karena menemukan jejak darah dagingnya, namun sedih karena Ana—wanita yang dulu begitu ia cintai—telah tiada. Ia menyesali semua keputusannya di masa lalu.

"Entah perasaanku ini harus kusebut bahagia... atau penyesalan yang tak berujung," ucapnya pelan sambil memejamkan mata. "Maafkan aku, Ana. Andai aku tak pergi malam itu... andai aku memilih tetap bersamamu..."

Tangannya mengepal di bawah meja. Rasa sakit berubah menjadi bara amarah.

"Jerry Xiao... brengsek kau!" desisnya. "Kau buat Ana menderita... Kau buat anakku hidup tanpa tahu siapa ayahnya. Aku bersumpah... kau akan menyesal karena telah menghancurkan hidup kami."

Herman hanya bisa diam. Di hadapannya, seorang pria yang biasa dikenal tangguh dan dingin kini larut dalam badai emosi—antara cinta yang belum padam dan dendam yang mulai menyala.

"Ana... aku sangat menyesali malam tahun baru itu. Seharusnya aku tidak datang ke pesta sialan itu. Seharusnya aku tetap bersamamu... memelukmu... menjaga kalian berdua..."

Air mata akhirnya jatuh, satu tetes, membasahi berkas yang kini terasa lebih dari sekadar dokumen: itu adalah lembaran hidup yang hilang selama puluhan tahun.

[FLASHBACK – Malam Tahun Baru, Bertahun-tahun Lalu]

Langit malam kota bersinar terang oleh dentuman kembang api. Denting musik DJ berpadu dengan sorakan tamu-tamu pesta yang larut dalam kemeriahan malam pergantian tahun. Di tengah hiruk-pikuk itu, seorang pria berdasi longgar menyesap wine mahal di tangan kanannya.

Biromo.

Wajahnya tampak dingin meski suasana pesta di sekelilingnya begitu hangat. Di sampingnya, sahabat lamanya, Duta, menatap heran.

"Bi, tumben kamu gak ajak Ana malam ini. Biasanya kamu selalu gandeng dia ke mana pun pergi," ujar Duta dengan nada penasaran.

"Jangan bahas dia," ucap Biromo datar sambil menenggak Screaming Eagle Cabernet Sauvignon 1992. Anggur mewah itu mengalir ke tenggorokannya, namun tak mampu memadamkan api yang berkobar dalam hatinya.

"Ada masalah apa?" desak Duta, menajamkan pandangan. "Kamu bukan tipe orang yang mabuk-mabukan begini... Apalagi datang ke pesta tanpa Ana."

Biromo mengembuskan napas panjang.

Matanya kosong. "Dia bilang... dia hamil anakku. Tapi aku tak percaya. Aku gak pernah menyentuhnya."

Duta terdiam sejenak, lalu mendengus keras. “Bodoh!”

Tanpa basa-basi, Duta menoyor kepala sahabatnya.

"Kamu lupa?! Malam pesta ulang tahun perusahaanmu tahun lalu—kau dijebak! Aku yang manggil Ana malam itu buat nolongin kamu. Kamu nyaris mati karena racun di minumanmu! kamu dan Ana... kalian tidur bersama setelah itu.”

Biromo perlahan mengerutkan kening. Memori lama itu berkelebat, samar dan mengabur.

"Aku pikir itu hanya halusinasi… Aku terlalu ingin bersamanya, sampai membayangkan semua itu."

“Tidak, Bi! Itu nyata! Aku lihat sendiri dia keluar dari kamarmu pagi-pagi. Dan sekarang kamu menghindarinya? Menuduh anaknya bukan anakmu?!”

Duta berdiri dengan geram. “Nikmati saja kesendirianmu malam ini, Biromo. Tapi jangan harap kamu bisa tidur dengan tenang.”

Ia berlalu, meninggalkan Biromo yang termangu, terpukul oleh fakta yang perlahan menyusup ke dalam kesadarannya.

"Sial… Kenapa aku begitu bodoh?" batin Biromo. "Ana… maafkan aku. Aku janji, malam ini aku akan menemuimu. Kita akan perbaiki semuanya..."

Namun takdir berkata lain.

Seorang wanita berbalut gaun seksi muncul, menghampiri Biromo dengan senyum menggoda.

"Hai, Bi," bisiknya mesra, memeluk dan mencium pipinya.

"Kalisya..." Biromo mendorong tubuhnya dengan kasar. "Pergi dariku! Aku tak butuh kamu lagi!"

Kalisya terjatuh, wajahnya memerah karena malu dan marah. Ia bangkit dan pergi ke toilet. Tapi bukan untuk menangis—melainkan untuk merencanakan sesuatu.

Saat kembali, ia melihat Biromo tertawa kecil bersama teman lamanya. Dalam diam, Kalisya menyelipkan sesuatu ke dalam gelas wine yang masih penuh di meja.

"Kamu milikku malam ini. Tak ada yang boleh merebutmu," gumamnya dingin.

Biromo kembali ke meja, tak menyadari kehadirannya. Ia menenggak habis wine yang sudah tercemar itu, lalu berjalan ke arah pintu keluar. Tapi langkahnya goyah. Pandangannya kabur. Dunia seperti berputar.

Lalu gelap.

“Cepat! Bawa dia ke mobilku!” bentak Kalisya dengan nada penuh kepanikan palsu.

Tanpa suara, seorang pria bertubuh besar muncul dari balik kerumunan pesta. Wajahnya dingin dan tanpa ekspresi, seperti telah terbiasa menjalankan perintah kotor.

“Baik,” jawabnya singkat, sebelum mengangkat tubuh Biromo yang lunglai—seperti memanggul sekarung beras—tanpa kesulitan sedikit pun.

Malam itu, dalam keramaian pesta yang penuh tawa dan musik bising, tak seorang pun menyadari bahwa satu nyawa tengah digiring menuju perangkap.

Mereka membawanya ke sebuah hotel mewah di pusat kota. Di sana, Kalisya mengatur segala skenario dengan cermat. Biromo yang tak sadarkan diri, ditidurkan di ranjang hotel.

Kalisya dengan cekatan merapikan gaunnya, mengacak rambut, lalu menyiram sedikit air di pipinya agar tampak seperti wanita yang baru saja menangis.

Ia lalu membaringkan diri di sisi Biromo, dan mulai menangis keras, seolah baru saja dilecehkan. Semua sudah sesuai rencana.

Tinggal menunggu waktu sebelum ia memanfaatkan situasi ini untuk mengadu domba.

Namun…

Tiba-tiba, ponsel Biromo yang tergeletak di meja berdering. Getarannya menggema di kamar yang hening.

Zzzzttt… Zzzzttt…

Layar menampilkan nama: Ana 💗

Kalisya menoleh. Wajahnya berubah tegang.

Nada dering itu tak kunjung berhenti.

Dengan kesal, ia meraih ponsel itu dan tanpa sengaja menekan tombol hijau. Dari speaker, terdengar suara seorang wanita—pelan, lemah, tapi menggetarkan hati.

“Bi... sepertinya aku akan melahirkan. Tolong aku... Aku takut... Aku sendirian...”

Suara itu pecah, nyaris seperti isakan.

Namun yang menjawab hanyalah keheningan. Tak ada jawaban dari Biromo. Dan sang wanita di seberang sana hanya bisa menunggu dalam ketiadaan.

Beberapa detik kemudian, sambungan terputus.

Dan dalam satu momen sepi itu, takdir pun berubah untuk selamanya.

Kalisya memandang ponsel itu dengan raut rumit. Tapi kemudian dia menarik napas panjang, menahan rasa bersalah yang nyaris menyusup, lalu meletakkannya kembali di meja.

“Sudah terlambat, Ana. Dia milikku malam ini, bukan milikmu.”

Kalisya yang masih berdiri di dekat meja, menatap ponsel Biromo dengan tatapan membara.

Suara lirih dari wanita yang barusan menelepon masih terngiang di telinganya.

"Bi... sepertinya aku akan melahirkan. Tolong aku..."

Namun, bukan rasa kasihan yang muncul di hati Kalisya. Melainkan iri, benci, dan nafsu untuk memiliki Biromo sepenuhnya.

Dengan napas memburu dan wajah menyeringai licik, Kalisya menggenggam ponsel Biromo erat.

“Aku akan menyingkirkanmu. Aku tak akan membiarkan kau hidup… atau mencuri Biromo dariku,” desisnya seperti racun.

Dengan cepat, dia membuka pesan, mengetik:

> “Datanglah ke Hotel Ciputra, kamar 19. Aku butuh kamu sekarang.”

Ia mengirim pesan itu menggunakan nama kontak Biromo, lalu melempar ponsel ke kasur.

Setelah semuanya dirasa beres, Kalisya kembali berbaring di samping Biromo yang masih belum sadar sepenuhnya. Dengan santai, ia menanggalkan gaunnya, dan membiarkan tubuhnya tetap terbuka. Rasa puas menyelimutinya—perang miliknya sudah dimulai.

Tapi rencana tak selalu berjalan sempurna.

30 menit berlalu...

Tanpa sadar, Kalisya tertidur pulas. Kepalanya bersandar di bahu Biromo. Keduanya dalam posisi yang bisa disalahartikan oleh siapapun yang melihat.

---

Saat itu juga—pintu kamar terbuka.

Ana berdiri di ambang pintu, tubuhnya gemetar. Nafasnya tersengal-sengal, perutnya yang besar tampak jelas. Wajahnya pucat, rambutnya kusut oleh perjalanan tergesa.

Matanya langsung menangkap pemandangan memilukan di hadapannya.

Biromo—lelaki yang ia cintai, yang katanya ingin meminta maaf, yang seharusnya menemaninya di malam kelahiran anak mereka—terbaring di ranjang... dengan wanita lain... tanpa sehelai kain pun di tubuh mereka.

"Bi...?" suara Ana nyaris tak terdengar, lebih seperti bisikan putus asa daripada panggilan.

Biromo mengerjap. Ia mulai sadar. Matanya terbuka perlahan. Ia melihat sekeliling dengan bingung... dan begitu ia sadar tubuh Kalisya menempel padanya, wajah Ana adalah hal pertama yang dilihat.

“Ana...? Bukan, ini tidak seperti yang kamu pikir—”

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.

Air mata Ana mengalir deras, tapi bukan karena marah. Melainkan karena kecewa—karena luka yang terlalu dalam untuk bisa dijelaskan dengan kata-kata.

"Aku datang... karena kamu bilang butuh aku... tapi ternyata yang kamu butuhkan hanya pelukan wanita lain," lirih Ana dengan suara bergetar.

Ia memegangi perutnya yang mulai menegang. Sakit mulai menjalari pinggang dan perutnya.

Biromo bangkit, ingin mendekat. Tapi Ana mundur, menahan kontraksi dengan tubuh yang hampir roboh.

“Jangan sentuh aku... dan jangan cari kami lagi.”

Lalu Ana berbalik, pergi dari kamar itu dengan langkah tertatih. Meninggalkan Biromo yang kini benar-benar sadar… bahwa ia telah kehilangan segalanya.

Flash off

Seketika lamunan Biromo buyar, dikejutkan oleh suara Herman yang memanggil namanya berkali-kali.

"Tuan, ini... buku harian milik Ibu Mia," ucap Herman pelan, sambil menyerahkan sebuah buku tua dengan sampul kulit yang telah pudar. Buku harian itu milik Ana.

Dengan tangan gemetar, Biromo membuka lembaran demi lembaran. Di dalamnya tertulis kisah pahit Ana saat mengandung anak mereka—dan bagaimana ia dicampakkan oleh Biromo sendiri. Ana menulis dengan jujur, tentang malam kelam ketika ia memutuskan untuk pergi tanpa pamit, membawa luka dan rahasia besar dalam rahimnya.

Ana ternyata melahirkan anak kembar—seorang laki-laki dan seorang perempuan. Demi menghentikan pengejaran Biromo yang tak pernah henti, Ana dengan berat hati menyerahkan anak laki-lakinya, Rico, kepada Biromo.

Namun Ana tidak sanggup menyerahkan semuanya. Dalam kebenciannya terhadap Biromo, tersembunyi cinta yang tak bisa ia bunuh. Ia memilih membawa pergi anak perempuannya, menjauh sejauh mungkin dari sosok pria yang ia benci—namun pernah ia cintai.

Ketika Mia, putri kecil itu, menginjak usia tiga tahun, ia mulai menanyakan siapa ayah kandungnya. Ana yang tak ingin anaknya tumbuh tanpa sosok ayah, akhirnya menikah dengan Jerry Xiao. Sejak saat itu, Jerry menjadi ayah bagi Mia—bukan hanya di mata dunia, tapi juga dalam hatinya.

Mia tumbuh dengan percaya bahwa Jerry adalah ayah kandungnya. Jerry pun tidak pernah mengingkari hal itu. "Ayah kandungmu," begitu kata Jerry, setiap kali Mia bertanya, "adalah aku."

Ia tak pernah mengingkari kalimat itu, meski ia tahu kebenarannya.

More Chapters