Hari itu sekolah lagi rame banget. Pendaftaran ulang murid baru bikin lorong-lorong SMA Harapan Cerah jadi kayak stasiun pas jam pulang kantor. Di antara keramaian itu, seorang cewek dengan rambut diikat messy bun dan ekspresi "jangan ganggu gue" berdiri di dekat meja panitia. Namanya Serena, baru masuk kelas 10.
Hari itu mood-nya lagi ambyar. Bukan karena apa-apa, cuma emang dari pagi udah zonk — bangun kesiangan, roti gosong, terus hujan pula. Gak ada yang bener.
Sementara itu, di lapangan deket aula, Sandreo — siswa kelas 11, cowok jangkung yang jadi idola tim voli sekolah — lagi asik banget main bola bareng temen-temennya. Mereka cuma pemanasan, tapi vibes-nya udah kayak mau tanding lawan tim nasional.
"Bro, liat tuh cewek baru. Yang barusan daftar ulang," kata Dika, temen satu tim Sandreo, sambil ngangguk ke arah Serena.
"Mana?" tanya Sandreo sambil tetap mantulin bola.
Begitu noleh ke arah Serena, BRAK! Bola yang dia pegang malah kebablasan, dan kakinya ikut nyelonong maju. Tanpa sadar, dia nabrak seseorang.
"Astaga! Lu buta apa gimana sih?!" suara cewek meledak, bikin semua orang nengok. Serena, dengan kertas pendaftaran berantakan, berdiri sambil natap tajam ke arah cowok yang barusan nabrak dia.
Sandreo langsung berdiri, ekspresinya kaget campur panik. "Eh—sumpah, maaf. Gue gak sengaja. Tadi—"
"Gak sengaja? Serius lu ngomong kayak gitu?" Serena langsung nyolot, nadanya naik satu oktaf. "Gue lagi jalan baik-baik, terus tiba-tiba lu nyeruduk kayak banteng lepas kandang!"
Sandreo ngangkat alis. "Lah, emangnya gue doang yang punya kaki? Lu juga liat jalan dong!"
Serena makin emosi. "Gila ya! Gue yang ditabrak, gue yang disalahin?! Logika lu kebalik atau gimana sih?"
"Eh, gue udah bilang maaf dari awal, tapi lu malah ngoceh terus. Mau gue sujud apa gimana?" Sandreo mulai kehilangan sabar.
"Coba aja! Sekalian nyanyi lagu minta maaf!" Serena bales dengan nada sarkas.
Adu mulut makin panas. Beberapa murid mulai ngumpul, nonton kayak lagi liat sinetron live.
Tiba-tiba ada suara berat memotong keributan. "Hey! Kalian berdua, cukup!"
Pak Hendro, guru olahraga yang lewat, berdiri dengan tangan di pinggang. Tatapannya galak.
"Udah. Selesaikan nanti. Sekarang bubar sebelum saya suruh lari keliling lapangan lima putaran!"
Serena cuma mendelik tajam ke Sandreo, lalu pergi sambil menghentak-hentakkan kaki. Langkahnya gede-gede kayak lagi jalan di runway fashion show, tapi dengan aura "jangan deket-deket gue".
Sandreo ngelus jidat, kesal. "Dramanya level sinetron banget…" gumamnya.
Dia balik ke lapangan, lalu ngambil bola dan ngelempar ke Dika. Tapi lemparannya keras banget sampe Dika hampir jatoh.
"Bro, chill!" seru Dika sambil ngakak. "Cewek itu bikin lu panas, ya?"
"Bukan panas lagi. Gue kayak dibakar hidup-hidup barusan," kata Sandreo sambil nyengir setengah kesal.
♡♡♡♡♡
Seminggu berlalu sejak insiden "tabrakan maut" di hari daftar ulang itu. Serena udah mencoba melupakan cowok tinggi sok cool yang bikin hari buruknya makin kacau. Tapi tiap dia lewat lapangan voli, dan ngeliat Sandreo sama temen-temennya latihan sambil ketawa-tawa, dia cuma bisa mendesis, "Ugh, si manusia bola…"
Hari itu, semua murid baru kelas 10 dikumpulin di aula buat pemilihan kelas. Ada 5 kelas IPA dan 3 kelas IPS, dan panitia udah nyusun nama-nama berdasarkan nilai placement test. Suasana aula rame, ada yang deg-degan, ada yang sibuk cari temen se-geng.
Serena duduk di pojok, sambil scroll TikTok nunggu namanya dipanggil.
"Serena Azzahra… IPS 2."
Dia bangkit sambil menghela napas. "Semoga aja satu kelas sama orang-orang normal…"
Tapi ternyata nasib punya rencana lain.
Begitu dia masuk ke kelas IPS 2, hal pertama yang dia liat adalah Sandreo, duduk di pojok belakang, nyender santai kayak nggak ada beban hidup. Tangannya mainin bolpoin sambil ngobrol sama Dika.
Serena langsung ngerem langkah. "Astaga. No. No no no no no no no. Kenapa dia ada di sini? Bukannya dia kelas 11?!"
Dika noleh, senyum lebar. "Eh, halo cewek tabrakan! Welcome to IPS 2!"
Sandreo ngelirik, matanya sempat kaget sebentar, terus nyengir, "Wah, dunia ini kecil banget ya?"
Serena cuma buang muka, duduk di bangku paling depan. "Gue gak mau satu kelompok sama dia. Titik."
Sayangnya, hidup gak sebaik itu.
Pas guru wali kelas masuk dan mulai pembagian kelompok buat tugas perkenalan, nama-nama langsung dibacain.
"Kelompok 3: Serena, Sandreo, Dika, dan Livia."
Serena: Speechless.
Sandreo: Ngikik pelan.
Dika: "Yah, ini sih bakal seru."
Setelah kelas bubar, Serena nyamperin Livia dengan niat murni: ngganti kelompok. Tapi sebelum dia sempat ngomong, Sandreo udah dateng nyela.
"Tenang aja, gue gak gigit. Palingan nyikut dikit doang."
Serena melotot. "Kalau bisa, gue milih kelompok lain."
"Sayangnya, udah fix," kata Livia sambil nyengir awkward. "Guru tadi bilang gak bisa ditukar."
Sandreo ngangguk puas. "Fix. Kita tim 'tabrakan chemistry'."
Serena cuma bisa mendesah panjang. "Ya Tuhan, kenapa cobaan hidup dateng dalam bentuk cowok sok lucu gini?"
Dan begitulah, pertemuan kedua mereka dimulai... bukan dengan senyum manis atau pelangi, tapi dengan tatapan tajam dan sindiran yang tajemnya bisa ngalahin silet.