Gohan terbangun di gua sunyi, dipenuhi aroma rempah dan dupa—sensasi yang membutakan pancaindra jiwa yang masih nyaris padam. Tubuhnya masih lemas, luka-luka terbuka, darahnya tertahan di balik perban kasar. Ia mengguncang-dengan pelan sekadar memastikan dunia bukan cerita. Pedang di sampingnya tak bergerak—memantulkan cahaya remang yang redup.
"Di mana aku?" gumamnya, suaranya serak. Ia mencoba bangkit, tapi kepala terasa meledak—kilasan darah ibu angkatnya menyambut kembali penglihatannya. Ia terjatuh, pandangan berkunang.
Tiba-tiba, langkah pelan dan tenang terdengar. Sosok tua berumput panjang muncul dari kegelapan. Maestro Yu Heng. Mata Maestro—atau yang tertutup itu—menyiratkan wibawa dan rahasia. Ia menghampiri Gohan dan duduk bersila di hadapannya.
"Ah... kau tumbuh kuat," bisik Maestro pelan, matanya yang tertutup seolah membaca lebih dari sekadar pandangan. "Tapi belum 'cukup kuat'. Pedangmu telah memanggilku."
Gohan mengerutkan alis: "Memanggil? Kenapa... kau membiarkanku terluka?"
Maestro menghela napas panjang, lalu menjangkau perban Gohan—tanpa menyentuh luka—dan menggerakkan tangannya perlahan. Kehangatan menjalar, luka pun sembuh. Gohan memelotot penuh terkejut: "Bukankah ini... sihir?"
Maestro menepuk dahinya dengan senyum samar: "Bukan sihir... tapi ilahi. Ada pertapa buta yang ternyata bukan buta—tapi menyegel matanya agar bisa 'melihat' pedihnya jiwa. Aku tahu terlalu banyak, bicara terlalu sedikit; seperti mawar berduri, kau mungkin luka karena dekat denganku."
Maestro muda berdiri di tengah arena batu, pedang emas bersinar biru dan merah—gemerlap langit penuh sectarian. Orang-orang berbisik: "Itu dia. Anak pertapa buta yang kelak menghentikan pewaris ketujuh." Tapi pedang itu malah terbang ke hadapan Maestro, menancap di tanah, menolak diterima.
Setelah itu, Maestro menyegel matanya. Demi keabadian visi batin, ia rela menutup matanya untuk melihat lebih jauh: pengkhianatan, harapan, dan guncangan dunia yang datang bertubi.
Sekarang ia berkata kepada Gohan: "Pedangmu berdarah ibumu—dia rela mati agar kau tersegel... tapi kau belum tahu apa yang disegel."
Gohan mengatup bibir kuat: "Aku ingin tahu!" Tapi nada suaranya bergetar, menahan rasa sesak. Ia masih meraba keberadaan pedang di sisinya—berbeda dari malam ketika ia merebutnya, sekarang terasa dingin, penuh kebencian dan harapan sekaligus.
Tiba-tiba, Maestro berhenti bicara. Gohan memicing. Langit gua merekah: satu kilatan emas memancar dari kain yang menutup mata Maestro. Dan ia tertawa—tawa rendah, getir: "Sekarang kau bersamaku, pewaris. Aku buta agar bisa melihat rahasiamu, dan sekarang aku akan memberimu bekal... namun tidak sebelum kau melihat apa yang menunggumu."
Kilatan emas itu menyala terang, menembus kisah silam, ke kamar rahasia di dalam gua. Dindingnya memantulkan simbol naga hijau, pedang emas-hitam, dan pintu tersembunyi—pintu ke Langit Rahasia Mitian.
Gohan menelan ludah. "Akses ke Mitian? Tapi kata pedang... sebelum fajar..." pikirnya gelisah. Ia tahu ini bukan lelucon. Sekarang, ia berdiri di ambang dunia yang terkunci, dan pintu itu akan terbuka, dengan harga yang belum terbayar.
Ia melihat dirinya kembali bertarung; kali ini bukan di desa, tapi di gerbang bercahayabiru, melawan tentara bayangan yang meledakkan tanah dan mengejar keberadaan pedang suci. Ia mendengar suara ibunya sekali lagi, namun kali ini bukan meminta belas kasih, tetapi peringatan: "Jangan terbawa ambisi... atau kau akan jadi penghancur."
Ia menatap pedang hitam di tangannya—dengan kunci penghancur itu. Dan ia tahu: ia harus belajar, memahami, bukan sekadar mengikuti nafsu kekuatan.
Maestro mulai mengajarkan Gohan teknik dasar untuk membaca aura—menggunakan suara, nafas, dan detak jantung sebagai pedoman. Gohan tertawa getir: "Uh... aku bahkan belum bisa kontrol pedang, apalagi jalan dua-rata!"
Maestro tersenyum miris: "Bukan jalan dua-rata, tapi jalan jiwa. Jika jiwa kau goyah, pedang akan memberontak."
Sesi latihan di mulai. Gohan duduk bersila, tangan menggenggam seutas tali—pedang maya dalam bayangan. Nafas masuk, diam; nafas keluar, rasakan getar. Peluh mendidih di keningnya, rasa lelah datang lebih cepat dari yang ia sangka. Namun di bawah tekanan itu, kilasan tiba-tiba muncul, dan ia mendengar bisikan naga: "Segel pecah, kau akan mendengar semua rahasia bumi dan langit."
Gohan terhuyung, kehilangan fokus. Ritme terganggu. Maestro menatap tajam: "Pedangmu yang memanggil? Atau hatimu?"
Gohan menunduk gelap: "Aku takut."
Ketika Gohan masih duduk terpaku, dua sosok tiba-tiba masuk: YUE XIULAN dan QIN ROUYE. Keduanya berdiri di mulut gua. Yue bersikap lembut, penuh kecemasan. Qin bersikap arogan, menahan penampilan kuat tapi terlihat jelas gemetar di matanya.
Qin berbicara, suaranya bergema misterius: "Tuan Gohan... aku mengiramu sudah tewas. Sekarang aku ingin tahu—kekuatan apa yang kau miliki sehingga guru tua ini membantumu?"
Gohan menahan pedangnya. "Aku belum tahu," ujarnya pelan. Yue maju dan memegang tangannya—pelukan pendek yang lembut: "Kau masih hidup... itu yang penting."
Kehadiran mereka mengguncang gua. Madame—istilahnya untuk Yue—melihat Maestro dengan hormat tinggi. Qin malah menatap dingin, tapi dalam lirikan itu ada rasa penasaran. Gohan tahu: mereka bukan datang sebagai teman.
Kilatan mantra tiba-tiba melengkung di ujung gua. Aura Qin menyala—hanya sekilas, tapi cukup menakutkan. Yue mengerut, memejamkan mata, kemudian berbisik ke telinga Gohan: "Dewa Sekte Langit Tengah—di Zhongtian—mengawasimu sejak kamu mendapatkan pedang. Mereka tak mempercayaimu."
Gohan mencengkram tali latihan, pedangnya terselip erat. "Aku ingin sekte hanya menjadi sekte… tapi mereka melihat priaku sebagai ancaman."
Maestro mengangguk. "Jangan takut... tapi jangan percaya sepenuhnya."
Gadis Yue membayangkan mimpi malamnya; bayangan Xiulan muncul di kepala Gohan—membawa aroma bunga malam yang memusingkan. Qin menggumam dingin: "Pedang hitam itu pernah milik Sekte Naga Surga, kau tahu? Hanya sedikit orang bisa memanggilnya kembali."
Gohan menelan ludah, hatinya terdesak. Mereka masing-masing punya agenda, dan ia—si pewaris—terperangkap di tengah kekacauan.
Di malam kelam itu, Gohan berdiri sendirian di tepi jurang gua. Luna redup menatapnya. Ia menyalakan lilin kecil dan membakar beberapa rempah: bayu harum melayang, membisikkan pertanyaan: "Aku siapa, sebenarnya? Apakah aku benar-benar pewaris yang bisa menolong dunia—atau hanya alat yang akan menghancurkannya?"
Kilasan ibu angkatnya muncul kembali—mengusap kepalanya dan berbisik: "Aku menumpahkan darah agar kau bisa tersegel... sekarang, jangan biarkan darah itu sia-sia."
Gohan menutup mata, memejam. Nafasnya terdengar pelan. Ia memutuskan: ia akan melatih tubuh dan jiwa. Ia akan memahami pedang, memahami kutukan, memahami dirinya—atau mati mencoba. Tidak untuk membunuh, tapi untuk hidup, dan melindungi.
Tiba-tiba angin malam merobek tepi gua. Suara gemeris buah dan daun terdengar jelas. Lilin di tangan Gohan mati dengan tiba-tiba. Dunia membeku.
Di balik kegelapan, terdengar suara seseorang—orang tua, entah benar atau halusinasi: "Pedang itu hanya bangkit untuk si Penghancur."
Gohan terpaku. Ia mengangkat pedangnya—warna gelap berpendar, menyala samar dalam kegelapan—dan ia merasakan... sepasang kaki ringan berdiri di belakangnya. Ia tahu ini bukan manusia; aroma entah naga atau roh menyelinap: "Kau akan tahu nanti, pewaris—apakah kau pelindung... atau penghancur."
Gohan menelan ludah, napasnya berhenti. Dan saat ia mengalihkan pandangannya... bayangan di belakangnya sudah hilang.
Sekarang, pintu ke Mitian menunggu. Tapi apakah Gohan siap melangkah? Atau justru akan terseret oleh kekuatan yang lebih gelap daripada dunia yang pernah ia kenal?