Cherreads

Abadi Dari Debu Fana

Daoistlebah
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
772
Views
Synopsis
Di dunia yang kejam dan primordial ini, hanya yang terkuat yang bertahan. Setiap ras, setiap faksi, dan setiap makhluk hidup tunduk pada satu hukum mutlak—survival of the fittest. Di tengah hiruk-pikuk para predator yang haus kekuasaan, seorang remaja kurus berdiri nyaris tak berarti. Wajahnya polos, pakaiannya lusuh, dan tubuhnya jauh dari kata mengancam. Namanya Fajar Fana. Dunia merenggut masa kecilnya saat ia baru berusia delapan tahun, membuangnya ke neraka tempat ribuan orang berebut sisa-sisa kehidupan. Tubuh kecilnya bukan tandingan bagi mereka yang lebih kuat, tapi kelaparan tidak mengenal belas kasihan. Setiap gigitan makanan adalah hasil pertarungan. Setiap napas yang ia ambil adalah perlawanan. Di tempat di mana kelemahan berarti kematian, ia seharusnya sudah lama terkubur. Namun, entah bagaimana, ia masih hidup. Bagaimana makhluk sekecil dirinya bisa terus bertahan di dunia tanpa ampun ini ?
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1 : Tidak Ada Hitam Dan Putih

Bab 1: Tidak Ada Hitam dan Putih

Langit kelabu menggantung seperti kain lusuh, tanpa hitam dan putih. Hanya abu-abu yang menutupi dunia tempat pembuangan sampah. Pemandangan ini lazim saat orang buangan mendongak dan mengangkat kepala di dunia ini.

Awan-awan tebal melayang malas, seolah menekan dunia di bawahnya, menciptakan suasana pengap yang tidak pernah benar-benar berubah.

Bau busuk yang menyengat menusuk hidung, campuran dari asamnya sampah yang membusuk, logam berkarat, dan sesuatu yang lebih buruk aroma kematian yang tak pernah benar-benar hilang dari tanah ini.

Udara dipenuhi partikel debu dan jelaga hitam yang beterbangan seperti abu sisa kehidupan yang telah lama padam.

Di bawah langit yang muram itu, dunia tampak kehilangan vitalitasnya. Energi roh langit dan bumi begitu tipis, seperti embusan napas terakhir dari dunia yang sekarat.

Tidak ada sungai jernih, tidak ada ladang hijau, hanya lautan reruntuhan yang membentang sejauh mata memandang.

Ini adalah Dunia Pembuangan, tempat bagi mereka yang telah kehilangan hak sosial dan martabat untuk hidup di dunia atas.

Mantan bangsawan yang jatuh, kriminal, budak paling rendah, dan orang-orang buangan lainnya semuanya berakhir di sini, terlantar seperti barang rongsokan.

Mereka bukan lagi manusia utuh. Mereka hanya bayangan yang berjalan, mengais sisa-sisa kehidupan di antara gunungan limbah, bertahan hidup dengan cara apa pun yang diperlukan.

Angin berembus pelan, membawa suara gemerisik dari tumpukan sampah yang bergerak. Sekilas, dunia ini tampak mati.

Tetapi jika seseorang mendengarkan dengan saksama, ada kehidupan di balik reruntuhan: bisikan gelap di kegelapan, langkah kaki yang nyaris tidak terdengar, napas tertahan dari seseorang yang bersembunyi.

Di tengah hiruk-pikuk samar itu, ada seonggok kereta unicorn tua, hampir terkubur oleh waktu dan tanah.

Kereta itu dulunya milik seorang kultivator kuat dari faksi yang berkuasa. Itu bisa dilihat dari aksara kuno yang masih terukir di kayunya, meskipun telah memudar.

Jejak formasi defensif yang dulunya melindungi bangkai kereta kini hanya meninggalkan garis samar, seperti bekas luka pada tubuh seorang prajurit yang telah lama kehilangan senjatanya.

Sekarang, ia hanyalah cangkang kosong yang diselimuti jamur, dengan bau apek bercampur tulang burung merpati yang berserakan di dalamnya.

Dan di dalam bayangannya, seorang bocah duduk diam.

Fajar Fana.

Matanya menatap langit yang suram, kelam namun akrab. Ia tampak berusia tiga belas tahun, tubuhnya kurus kering, tulang-tulangnya menonjol dari kulit kecokelatan yang kasar akibat terik matahari.

Debu menempel di rambutnya yang kusut, sementara bekas luka lama menghiasi tangannya yang kecil.

Jari-jarinya menggenggam erat sebuah kalung logam usang. Ibu jarinya menyusuri ukiran di permukaannya.

Peninggalan ibunya.

Wajah wanita itu terpatri di dalam ingatannya, tidak lekang oleh waktu. Kenangan masa kecilnya tampak begitu dekat dalam genggaman, namun di saat yang sama begitu jauh, buram, dan lebih mirip mimpi yang samar.

Fajar menghela napas, lalu berbisik,

"Kuharap kali ini semuanya berjalan lancar."

Ia tidak ingat kapan terakhir kali perutnya kenyang. Tetapi di tempat ini, rasa lapar bukan musuh terbesar. Musuh utamanya adalah keputusasaan hidup yang membusuk perlahan.

Tiba-tiba, langit bergetar.

Fajar menajamkan pendengarannya.

"Satu, dua, tiga..." ia menghitung dalam hati.

Dan saat itulah pusaran muncul di langit. Awalnya hanya sebesar butiran debu, lalu melebar, menciptakan lorong berputar yang berpendar dengan energi aneh.

Fajar mengenali fenomena itu — formasi array lintasan dunia.

Ketika pusaran gelap itu stabil, kapsul logam raksasa muncul dari balik pusaran dengan megah dan agung, seolah-olah segudang makhluk di bawahnya tak sepenting kapsul itu.

Pupil mata Fajar menyusut, tangannya yang memegang kalung sedikit gemetar.

Dalam ingatannya, kapsul logam raksasa itu adalah pengiriman limbah dari dunia atas sekaligus malaikat maut yang dapat memutuskan hidup dan mati orang-orang buangan.

Angin dari pusaran menghantam wajah-wajah kelaparan di bawahnya.

Walau raksasa logam itu melayang diam di angkasa, sebagian besar orang buangan tidak bernyali untuk menampakkan diri.

Namun sebagian kecil yang tak berpengalaman keluar dari balik persembunyian.

Ekspresi putus asa mereka sirna, digantikan wajah penuh harapan dan mata berbinar.

"Tuan, tolong aku! Bawa aku keluar dari neraka ini!" seru seseorang.

"Kumohon, aku ingin hidup ! Aku akan menjadi budakmu jika keluar dari sini!" Air mata membasahi pipi dan tangan mereka terlipat memohon.

"Tuan, ak..."

Permohonan mereka berubah menjadi ratapan.

Sinar emas memancar dari sudut Kapsul Roh, menghanguskan apa pun di jalurnya dan menyambar para pemulung dalam sekejap mata.

"AAAKHH, TIDAAAK !"

Dalam sekejap, keheningan kembali menyelimuti bumi tak bertuan itu. Namun kali ini, bau daging hangus begitu pekat memenuhi udara.

Bulu kuduk semua pemulung berdiri, napas mereka tertahan, dan pupil mereka menyusut.

Ini adalah kekuatan absolut dari dunia atas. Belas kasih dan simpati hanyalah kenangan usang.

Fajar Fana remaja tanpa sejarah berarti tetap diam tergeletak di dalam reruntuhan kereta bersimbol unicorn. Ia mengelus kalung logam di dadanya, sembari menggigit bibir bawahnya.

Selama lima tahun ini, entah berapa kali ia menyaksikan teror dari Kapsul Roh itu. Di hadapan mesin pembunuh tersebut, semua ratapan, semua harapan, dan semua permohonan pupus.

"KRRRIIIITTT."

Akhirnya, pintu kapsul-kapsul itu terbuka.

Hujan limbah berjatuhan — potongan logam, sisa makanan berjamur, serpihan perabot, dan limbah pil dari dunia atas.

Sampah bagi mereka di atas. Tapi bagi orang buangan, ini adalah emas.

Fajar tetap diam, tubuh kurusnya merapat ke bangkai kereta. Napasnya teratur, seperti bayangan yang menyatu dengan reruntuhan.

Namun ketika pintu kapsul ketiga terbuka, segalanya berubah.

Bukan hanya sampah yang jatuh.

Tubuh-tubuh manusia dilemparkan tanpa belas kasihan, berguling di atas tumpukan puing.

Ada yang langsung mati saat menghantam tanah — tubuh mereka patah seperti ranting kering. Yang lainnya masih bergerak, merintih dalam kebingungan dan ketakutan.

Masalah !.

Fajar menggigit bibirnya.

Lebih banyak orang berarti lebih sedikit sumber daya.

Setelah pemulung terakhir terbuang, kapsul itu bermanuver di udara dan memasuki formasi lintasan dunia.

Tepat setelah lorong lintasan dunia menghilang sepenuhnya, orang-orang buangan dari segala penjuru bergerak menuju pusat pembuangan sampah.

Dan seperti yang sudah diduganya, perburuan dimulai.

Ratusan orang bergerak serempak, menyerbu tumpukan sampah yang baru jatuh. Tapi bukan untuk mengambil barang terlebih dahulu.

Mereka membantai para orang buangan baru.

Pisau menembus perut. Kapak menghantam tengkorak. Darah menyembur, menyerap ke dalam tanah hitam. Jeritan memenuhi udara, tetapi di dunia ini, itu hanya suara latar biasa.

Bagi para pemulung lama, ini adalah ritual.

Tak lama, teriakan terdengar di seantero reruntuhan, sementara pertarungan meletus di berbagai sudut menggunakan pipa logam, pisau dapur, kapak, bahkan tangan kosong.

Beberapa membentuk aliansi untuk memonopoli lebih banyak barang. Yang lain bergerak sendiri.

Fajar tetap tidak bergerak.

Anak-anak seperti dia bukan predator. Mereka adalah tikus yang mencari remah-remah di antara pertarungan singa.

Ketika kekacauan mencapai puncaknya, barulah mereka bergerak.

Barisan remaja dan anak-anak seperti Fajar mulai bergerak. Mereka lincah dan gesit, seperti kawanan bayangan yang tahu betul kapan harus muncul.

Anak-anak ini telah belajar untuk menjauhi tumpukan utama. Mereka tahu di tempat itu, kekuatanlah yang berbicara. Mereka menyebar ke pinggiran, tempat barang-barang tercecer yang luput dari perhatian para pembantai.

Fajar menajamkan semua indranya.

Mata menelusuri sela-sela puing.

Telinga menangkap langkah-langkah terdekat.

Hidungnya mengendus jejak makanan di antara debu dan darah.

Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu. Dengan cepat, tangannya menyambar kantung kulit setengah terkubur di antara potongan kayu dan karung sobek.

Ia membukanya. Matanya melebar.

Roti.

Kering, keras, tapi masih bisa dimakan. Tapi bukan itu yang membuatnya membeku.

Ada bubuk hitam di dalamnya.

Limbah pil.

Fajar menyentuhnya perlahan, mencium aroma tajam yang dikenalnya.

“Tunggu… ini bubuk pil penyembuh.”

Jantungnya berdegup kencang. Ini adalah harta karun di neraka ini.

Namun, kegembiraannya hanya berlangsung sesaat. Sebuah bayangan besar melompat ke arahnya dari sisi kanan.

"BRUK!"

Kapak menghantam tanah, hanya beberapa jengkal dari tempat ia berdiri.

Fajar berguling ke samping. Ia menoleh.

Seorang remaja, tubuh lebih besar dan lebih kekar darinya, berdiri dengan menyeringai. Kapaknya berkilat dalam cahaya suram.

Tanpa memberi peringatan, kapak itu kembali diayunkan.

Fajar melompat mundur. Terlambat. Bilah kapak menggores dadanya.

Garis merah muncul di kulit.

“Berikan itu, tikus kecil!” geram si remaja.

Fajar tidak menjawab. Ia hanya bergerak.

Tangannya menyambar sesuatu dari balik sabuk lusuhnya, sepotong besi kecil yang diruncingkan.

"TING!"

Logam itu melesat, memantul di udara.

"ARGHHH!"

Besi itu menancap tepat di mata kiri lawannya.

Kesempatan!

Fajar berlari.

Ia tak menoleh ke belakang, tak peduli dengan suara teriakan marah dan langkah berat yang mengejarnya.

Lanskap di sekitarnya tetap sama: reruntuhan, darah, dan hukum rimba.

Di tempat ini, hanya ada satu aturan:

"Bertahan hidup".

Fajar berhenti sejenak, bersembunyi di balik tiang logam karatan. Nafasnya terengah. Tangan gemetar, luka di dadanya berdenyut, tapi ia masih hidup.

Di genggamannya, kantung kulit itu tetap erat.

Roti. Bubuk pil.

Harta karun.

"Kuharap esok hari bisa menjadi lebih baik."

Langit tetap kelabu.

Tapi di mata Fajar, untuk sesaat...

ada sedikit cahaya.