Cherreads

Cahaya Yang Tersembunyi

Tamara_Qaalista
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
527
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - Velrune yang Tak Tidur

Dunia ini punya dua wajah. Satu bersinar terang, menyilaukan, hangat. Satunya lagi, dingin, gelap, dan penuh bisikan yang tak henti-henti memanggil. Dan aku, Lysara Elvein, hidup di wajah yang kedua.

Velrune bukan kota yang bisa ditemukan di peta dunia. Ia berdiri di antara celah waktu, di mana matahari tak pernah menjamah, dan bulan pun enggan menatap. Tapi kami hidup di dalamnya. Kami tumbuh, belajar, bertarung, dan bersembunyi—terutama dari cahaya.

Bangunan di Velrune menjulang tajam seperti gigi monster purba, terbuat dari batu hitam yang berkilau hanya saat disentuh bayangan. Jalanan dilapisi kerikil obsidian, mengeluarkan dengungan halus setiap kali kaki menyentuhnya. Tidak ada lampu, karena kami tidak butuh cahaya untuk melihat. Mata kami—penduduk asli Velrune—telah beradaptasi, menangkap bentuk lewat pantulan suara dan gelombang ilusi.

"Lysara, bisikanmu terlalu keras." Suara itu datang dari atas atap.

Aku mendongak. Di sana berdiri Vearon, satu-satunya orang yang masih berani berbicara padaku tanpa gemetar. Rambutnya putih seperti abu, mata kelam tanpa iris. Ia mengenakan mantel bayangan yang berkibar pelan meski tidak ada angin.

"Aku tidak membisikkan apa-apa," jawabku, pelan.

"Kau berpikir terlalu keras. Bayangan bisa mendengar pikiran, tahu?"

Aku mengangguk kecil. Vearon turun dengan satu lompatan halus dan mendarat tepat di sampingku. Kami berdiri di atas Menara Vharis, titik tertinggi Velrune, tempat orang-orang terpilih melatih kendali atas kekuatan mereka.

Aku belum terpilih. Dan mungkin tidak akan pernah.

"Kau merasakannya?" tanya Vearon pelan.

"Gerakan di celah langit? Ya. Sejak kemarin malam."

Di atas kami, langit Velrune retak halus seperti kaca pecah. Retakan itu tidak memancarkan cahaya, tapi membocorkan suara—bisikan dari dunia lain, panggilan samar yang tak bisa kuabaikan.

"Itu bukan retakan biasa," gumamku. "Itu Mata Langit."

Vearon tidak menjawab. Ia hanya menatapku, dalam dan lama. "Kau akan dipanggil, Lysara. Dan saat itu tiba, kau tak bisa lari."

Kami turun ke permukaan kota. Velrune, meski gelap dan dingin, tak pernah benar-benar sepi. Bayangan melayang seperti kabut hidup, menyelinap di antara lorong-lorong, menyelimuti setiap langkah. Para penjaga mengenakan jubah yang dijahit dari kain mimpi—benda yang hanya bisa ditenun oleh penjahit ilusi, para seniman bayangan.

Aku berjalan menuju distrik bawah, tempat pasar malam abadi berada. Di sana, suara-suara bercampur: tawa anak-anak, nyanyian pedagang, bisikan barter. Warna-warna aneh melintas—bukan dari cahaya, tapi dari energi bayangan yang berpendar samar. Semua orang tampak tenang, tapi aku tahu mereka juga merasakannya: kegelisahan yang merambat dari langit retak.

Di ujung pasar, aku memasuki lorong kecil menuju Perpustakaan Kelam. Tempat itu adalah satu dari sedikit tempat yang kutemui kedamaian. Buku-buku di sini tidak ditulis dengan tinta biasa, tapi dengan darah mimpi—yang hanya bisa dibaca dalam keheningan total.

"Selamat datang kembali, Penjelajah." Suara penjaga perpustakaan, Arhviel, menggema seperti suara dari dasar gua. Ia buta, tapi bisa melihat lebih banyak daripada siapa pun di kota ini.

"Aku mencari catatan tentang Mata Langit."

Arhviel tidak bertanya kenapa. Ia hanya menunjuk ke arah lorong ketiga. "Rak Bayangan. Buku ketiga dari kanan. Jangan buka jika kau belum siap."

Aku menelusuri lorong itu dan menemukan buku yang dimaksud. Sampulnya seolah terbuat dari bayangan padat, berdenyut pelan seperti jantung. Begitu kubuka, suara mengalir keluar seperti air panas menyentuh kulit.

"Mata Langit adalah luka lama yang tak pernah sembuh. Bila terbuka, dunia terang dan gelap akan saling melahap. Dan yang menjadi penutupnya... harus kehilangan sebagian dari dirinya."

Tanganku gemetar. Sebagian dari dirinya? Apakah itu maksudnya nyawa? Ingatan? Atau lebih buruk—identitas?

"Kau tak bisa kabur selamanya, Lysara," bisik bayangan dari balik buku. Suara yang akrab. Suara ibuku.

Aku menutup buku itu keras-keras. Nafasku memburu. Vearon sudah berdiri di pintu, wajahnya datar.

"Kau harus melihat ini," katanya.

Kami naik ke puncak Velrune lagi, tapi kali ini bukan hanya untuk mengamati. Di atas langit, retakan Mata Langit melebar. Dari celahnya, cahaya putih menyala, menyilaukan, menyakitkan bagi mata kami. Tapi bukan itu yang membuat semua orang berlutut.

Yang keluar dari celah itu... adalah suara. Suara perempuan, lantang dan penuh dendam:

"Pewaris bayangan... waktumu telah tiba. Datanglah, atau dunia akan tenggelam dalam terang."

Itu bukan ancaman. Itu kenyataan. Cahaya bukan penyelamat. Ia adalah penguasa yang tak mengenal batas. Dan akulah kunci penyeimbangnya.

Aku berdiri di tepi jurang, menatap celah langit. Duniaku—Velrune—berada di ambang kehancuran. Tapi bukan oleh kegelapan. Melainkan oleh cahaya yang tak tahu kapan harus berhenti.

"Aku tak siap," bisikku.

"Tidak ada yang pernah siap," jawab Vearon.

Lalu, aku melangkah maju.

Bayangan menelan tubuhku.

Dan portal terbuka.

Tubuhku terhanyut dalam kegelapan yang pekat, tapi bukan kegelapan biasa. Ini seperti selimut hidup yang berdenyut, bernapas, dan membisikkan rahasia lama yang hanya bisa didengar oleh jiwa yang terpilih. Suara-suara lembut bergema di sekelilingku—bisikan bayangan yang menyatu dengan detak jantungku.

Aku membuka mataku perlahan, dan di hadapanku terbentang sebuah dunia lain, penuh dengan warna yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Bukan warna yang biasa, tapi cahaya bayangan yang berpendar dalam harmoni gelap dan redup. Pepohonan berdaun hitam berkilauan dengan embun ungu, sungai mengalirkan air keperakan yang beriak halus, dan langit—langitnya berdenyut seperti denyut nadi raksasa, memancarkan cahaya lembut yang membuatku merasa aneh tapi nyaman.

Suara langkah mengganggu keheningan. Aku berbalik dan melihat sosok berdiri di tepi sungai—seorang pria berwajah tajam dengan mata seperti intan hitam yang berkilat. Pakaiannya terbuat dari kain berkilau yang memantulkan warna bayangan. "Selamat datang di Arkaviel, Lysara," katanya dengan suara tenang namun penuh wibawa.

"Apa ini tempatnya?" tanyaku masih bingung.

"Ini adalah dunia bayangan di balik Velrune. Tempat di mana semua kekuatanmu akan diuji dan dibentuk," jawabnya. "Kau tak bisa kembali sebelum melewati ujian di sini."

Aku menatapnya, dada berdebar. "Apa yang harus kulakukan?"

Pria itu tersenyum tipis. "Belajar mengenal bayangan dalam dirimu, memahami cahaya dan gelap, dan menemukan keseimbangan yang harus kau jaga. Karena tanpa itu, Velrune akan hancur."

Aku menarik nafas panjang, bersiap menerima tantangan yang belum pernah kukira akan kutemui. Langkah pertama menuju takdirku sebagai Pewaris Bayangan telah dimulai.

Lysara berdiri tegak, menyerap setiap detail di sekelilingnya. Arkaviel bukan hanya sebuah tempat — ini adalah cermin jiwa, sebuah ruang di mana bayangan dan cahaya bersatu, tapi tak pernah benar-benar berdamai. Setiap langkah di tanahnya bergetar halus, seolah menyesuaikan dengan denyut jantungnya sendiri.

Pria berwajah tajam itu memperkenalkan dirinya dengan suara lembut. "Aku Kaelen, penjaga gerbang dunia bayangan. Tugasku membimbing para Pewaris Bayangan seperti kau melewati ujian yang akan mengubah segalanya."

Lysara mengangguk pelan, masih merasa berat dan asing di dadanya. "Ujian macam apa itu? Apa aku harus melawan sesuatu?"

Kaelen menghela napas, matanya menyapu lanskap Arkaviel yang berpendar gelap dan berkilau. "Ujian bukan hanya pertarungan fisik. Di sini, kau akan berhadapan dengan bayangan terdalammu — ketakutan, kesedihan, amarah, bahkan harapan yang kau sembunyikan. Kau harus memahami, menerima, dan menguasainya. Hanya dengan begitu kau bisa menjaga keseimbangan Velrune."

Langkah Kaelen membawanya ke sebuah danau hitam berkilau, airnya tenang namun dalam. "Ini Danau Refleksi. Pertama, kau harus melihat dirimu sendiri — bukan yang kau ingin jadi, tapi apa adanya kau sebenarnya."

Lysara mendekat, menunduk, memandang permukaan air yang memantulkan wajahnya dengan samar dan berbayang. Mata itu memancarkan kegelisahan, namun juga kekuatan yang belum dia sadari. Seketika, bayangan dari dalam danau muncul, menyatu dengan sosok Lysara—lebih gelap, lebih dingin, namun juga penuh energi liar.

"Kau takut, bukan?" bisik bayangan itu. "Takut kehilangan kendali, takut gagal, takut menjadi apa yang orang lain inginkan."

Lysara terpaku, merasakan ketukan jantungnya makin cepat. "Aku… takut. Tapi aku juga ingin kuat. Aku ingin melindungi Velrune."

Bayangan itu tersenyum sinis. "Untuk itu kau harus berani kehilangan. Keseimbangan tidak tercipta tanpa pengorbanan."

Tiba-tiba, bayangan itu melompat, dan Lysara merasakan gelombang energi mengalir dari ujung jarinya hingga ke seluruh tubuh. Dunia di sekitarnya berputar dan bergetar. Suara-suara bisikan makin keras, membentuk suara-suara yang saling bertabrakan, menuntut perhatiannya.

Kaelen berseru, "Kendalikan! Jangan biarkan bayangan menguasaimu!"

Dengan segenap tenaga, Lysara menarik napas dalam, memusatkan pikiran dan perasaan. Perlahan, bisikan itu mereda, bayangan itu mengendur dan berubah menjadi cahaya yang hangat. Ia tersenyum, merasa ada sesuatu yang baru tumbuh dalam dirinya — kekuatan untuk berdamai dengan gelap dan terang.

Kaelen mengangguk puas. "Ini baru permulaan, Lysara. Masih banyak yang harus kau pelajari, tapi kau sudah melewati langkah pertama."

Lysara menatap cakrawala Arkaviel yang berpendar lembut, bertekad dalam hatinya. Tak peduli seberapa berat ujian yang menanti, dia siap. Karena Velrune dan semua yang dia cintai, dia harus kuat. Pewaris Bayangan harus melangkah maju.