Langit senja perlahan ditelan gelap. Di rumah kayu sederhana milik Kepala Desa, udara tenang menyelimuti ruangan. Lerkov duduk diam di ruang tamu, matanya memandangi jendela yang menghadap ke desa. Angin lembut meniup tirai tipis, membawa aroma tanah basah dan kayu tua.
Vesuila duduk tak jauh darinya, sementara Rho'dan—dengan tongkat batu hijaunya—duduk bersandar tenang. Erwang berdiri di dekat pintu, bersilang tangan sambil tetap waspada. Di sudut ruangan, Nilan duduk bersila sambil memainkan kantong kain berisi jajanan desa yang baru ia dapatkan.
Lerkov menghela napas pelan, lalu berkata dengan suara rendah namun mantap.
"Aku ingin meminta satu hal terakhir..."
Semua orang langsung menoleh.
"Bisakah kami menetap di sini untuk sementara waktu... hingga seluruh kru kami pulih? Armada kami akan tetap berlabuh di pesisir. Kami tidak bermaksud mengganggu desa kalian."
Vesuila memandang Rho'dan, lalu menerjemahkan dengan nada lembut. Sang kepala desa memejamkan mata, mendengarkan kata-kata itu dengan khidmat. Butuh beberapa saat sebelum ia membuka mata kembali dan memberi isyarat dengan anggukan lambat.
Vesuila tersenyum tipis, lalu menyampaikan jawabannya:
"Rho'dan berkata... kalian datang tanpa ancaman. Tidak menumpahkan darah, dan justru menyembuhkan luka. Itu adalah tanda niat yang baik."
"Kalian boleh tinggal... namun ada satu syarat."
Lerkov mendengarkan dengan seksama.
"Armada kalian tidak boleh lebih dekat dari batas yang telah ditentukan di pesisir. Warga kami masih takut... dan itu wajar. Kami belum terbiasa dengan besi raksasa yang kalian bawa."
Lerkov mengangguk perlahan.
"Kami akan tetap berada di perairan luar. Tak satu pun dari armada kami akan menyentuh garis desa... itu jaminanku."
Vesuila menatapnya lebih dalam, lalu berkata pelan:
"Dan satu hal lagi... jangan biarkan teknologi kalian mengubah desa ini. Kami mungkin kuno, tapi kami masih ingin tetap menjadi kami. Dunia kalian dan dunia kami... sangat berbeda."
Lerkov menundukkan kepala dalam rasa hormat.
"Itu janji kami. Kami datang bukan untuk merusak, hanya untuk bertahan."
Tiba-tiba, Nilan berdiri dan membawa nampan kecil berisi dua cangkir teh hangat.
"Hei, kak... semuanya baik-baik aja kan?" katanya dengan senyum cerah. "Aku bawa teh dari warga, katanya bisa bikin rileks~"
"Terima kasih, Nilan."
Lerkov menerima teh itu, menyeruputnya perlahan. "Untuk pertama kalinya… kita bisa bernapas sedikit lebih tenang."
Dari luar rumah, cahaya temaram mulai merayap masuk melalui celah dinding. Erwang yang berdiri di dekat pintu, menatap keluar. Di kejauhan, sinar armada Stygian Nyx tampak seperti gugusan bintang buatan manusia yang mengapung di laut.
"Kita harus tetap waspada..." gumamnya, "tapi... malam ini, rasanya damai."
Rho'dan berdiri perlahan, dibantu Vesuila. Ia memandang ke arah langit yang sudah mulai gelap, lalu berbicara dengan suara serak namun dalam. Vesuila menerjemahkan:
"Dunia ini keras... tetapi selama masih ada orang yang memilih untuk menyembuhkan daripada menghancurkan, maka harapan itu akan tetap menyala."
Malam pun turun. Desa menjadi tenang. Armada tetap berjaga. Tapi untuk malam itu—hanya malam itu—dunia terasa sedikit lebih hangat.
Malam telah benar-benar menyelimuti desa Unknown Island. Kabut tipis turun perlahan, melintasi ladang-ladang kecil dan rumah-rumah kayu yang tertidur dalam hening. Lentera bambu menggantung di sepanjang jalan, bergoyang pelan tertiup angin malam, menerangi jalur dengan cahaya kuning hangat.
Di serambi rumah kepala desa, Lerkov berdiri diam sambil memegang secangkir teh hangat. Tatapannya kosong, menembus gelap yang membungkus desa. Dari kejauhan, cahaya armada Stygian Nyx terlihat samar—titik-titik logam raksasa yang tenang namun waspada.
Langkah pelan terdengar di belakangnya.
"Kak..." Nilan mendekat, membawa selimut di lengannya.
"Udara mulai dingin, jangan terlalu lama di luar."
Lerkov mengangguk, menerima selimut itu tanpa berkata banyak.
"Belum bisa tidur," ucapnya pelan.
"Tempat ini... terlalu tenang. Rasanya seperti sebelum badai."
"Tapi semuanya baik-baik saja kan?" tanya Nilan pelan.
"Mereka izinkan kita tinggal."
"Iya," jawab Lerkov. "Tapi rasa takut mereka masih terasa. Dan aku tidak menyalahkan mereka."
Nilan tak menjawab. Ia hanya bersandar di samping kakaknya, memandangi langit malam yang mulai dihiasi bintang.
Di sisi lain desa...
Erwang berjalan sendirian melewati jalan berbatu. Rumah-rumah di sekitarnya mulai meredup, hanya menyisakan bayangan siluet di balik jendela. Ia bisa merasakan tatapan dari celah pintu dan tirai—penuh rasa ingin tahu, dan sebagian masih menyimpan rasa takut.
Dari balik semak, muncullah cahaya lentera. Vesuila datang menghampiri, membawa sebuah kantong kecil berisi ramuan penghangat tubuh.
"Tuan Erwang," sapanya. "Rho'dan ingin menyampaikan rasa terima kasih... karena Anda dan pasukan Anda telah menjaga kedamaian."
Erwang tersenyum tipis.
"Kami hanya ingin memastikan semuanya berjalan damai. Kami pun... kehabisan tempat untuk bertarung."
Vesuila terdiam sejenak, lalu berkata,
"Mereka belum sepenuhnya percaya. Tapi mereka melihat. Dan itu awal yang cukup."
Di tenda medis, pesisir pantai...
Raruinisa masih memeriksa beberapa kru yang terluka. Tangannya terampil membalurkan ramuan, lalu mengucap mantra pelan yang membuat luka terlihat mengering perlahan. Kyouko berdiri di sampingnya, membersihkan alat dengan penuh ketelitian.
Di sudut tenda, Shin duduk diam, memperhatikan. Tangannya yang telah diperban kini tak lagi sakit, namun matanya malah terpaku pada sosok Kyouko.
"Gawat... kenapa dia bisa secantik itu?" batinnya sambil melirik cepat.
Kyouko tiba-tiba menoleh, tersenyum lembut.
"Tuan Shin, kalau ada yang terasa sakit... bilang saja ya. Saya masih di sini."
Shin tersentak sedikit, wajahnya memerah.
"A-ah... i-iya... baik...!"
"Senang bisa membantu kalian malam ini." katanya lembut.
Kembali ke rumah kepala desa...
"Menurutmu... berapa lama kita bisa tinggal di sini?" tanya Nilan tiba-tiba.
Lerkov menghela napas pelan.
"Selama mereka mengizinkan. Tapi kita harus bersiap, Nilan. Dunia ini belum tentu bersahabat."
"Apa kamu curiga sesuatu?"
"Aku tidak curiga. Tapi aku tahu... di tempat seperti ini, bahaya bisa datang dalam banyak bentuk. Bahkan dari dalam."
Nilan tak menjawab. Ia hanya menatap langit, kemudian bergumam,
"Tapi... malam ini indah, ya."
"Iya," kata Lerkov pelan.
"Untuk malam ini, kita istirahat dulu. Esok, kita mulai berpikir... tentang bagaimana bertahan."
Di luar, desa tertidur dalam damai. Tapi bagi Stygian Nyx, malam ini hanyalah jeda dalam perjalanan panjang. Dunia asing ini belum memperlihatkan wajah aslinya—dan mereka harus siap, kapan pun tirai itu terbuka.