Mereka bersamaan membalik badan melihat asal suara tersebut. Ternyata dia adalah Ferra, orang yang menembak perut Celis saat melawan Suo. Dia terlihat tersenyum tipis.
Hella muncul tiba-tiba didepan Ferra sambil menodongkan Pedang kegelapannya ke leher Ferra begitu juga sebaliknya Ferra menodong Shotgun ke dahi Hella.
"Jangan sembarangan denganku gondrong."
"Brisik amat celana panjang."
Shintia berteriak dari belakang mereka.
"Oiii!!!, kalian ga liat keadaannya gimana?"
Ferra mengangkat satu bahunya bersamaan memikirkan kepalanya mengartikan dia tidak ingin bertarung untuk sekarang.
"Perhatian banget, aku kesini cuma mastiin aja dia udah mati apa ga."
Hella menurunkan pedang lalu lenyap seketika, begitu juga dengan Ferra menurunkan Shotgun nya. Shintia panik dengan keadaannya dan Mitha menelan berat ludahnya karena tegang dengan kondisi.
Bilang Shintia ke Ferra.
"Jadi ngapain kamu ke sini? Langsung ke intinya aja."
Ferra menjawab dengan angkuh.
"Huh... Iya-iya, Celis hanya bisa bertahan hidup tujuh hari karena Glutt lite bullet adalah peluru dosa besar Gluttony atau dosa kerasukan yang terus melahap setiap regenerasi seseorang. Yahh... kalian liat sendiri lah nanti."
"Terus gimana caranya bisa sembuhinnya?"
"Bukan urusanku."
Hella kesal dengan Ferra yang terlihat angkuh, dia bersiap ingin memukul wajah Ferra namun sebelum itu terjadi. Ferra duluan yang menodong Shotgun ke jantung Hella.
"Aku gada urusan denganmu."
"Aku yang ada urusan denganmu, rambut landak."
"Jadi kamu mau ngerasain juga apa yang dirasain Celis? Lagian ini gaya rambut Edgar Cut t*l*l."
Hella memikirkan tindakannya tersebut.
Memang shotgun yang masih misterius dan sosok yang belum diketahui siapa dia.
Ferra membalik badan mengabaikan Hella, sambil mengucapkan.
"Sloth bullet."
Dari Shotgun mengeluarkan aliran putih aneh yang terus menyelimuti seluruh shotgun, dan warna shotgun nya juga berubah berwarna hitam, Ferra menembak ke depan muncul kabut hitam yang seperti portal dan mulai menutupi tubuhnya.
Shintia membaca tulisan di baju belakang Ferra yang bertuliskan, "SN FAMILY" .
"Kalian jangan menghalangiku kalau kalian mau hidup kalian tersiksa."
Ucap Ferra sambil melihat ke belakang saat sebelum termakan kabut hitam.

Shintia mengulang kata tulisan di baju Ferra.
"SN FAMILY?"
Hella dengan sedikit ketakutan membuatnya mengeluarkan keringat dingin lalu membalik badan ke arah mereka dan ngomong tentang SN FAMILY.
"Suku Nasional Family. Organisasi yang mulai di dirikan sejak tahun kemarin, Mereka bertujuan untuk melanjutkan penyerang dan fitnah-fitnah yang telah dilakukan orang asing waktu itu."
Mitha menanyakan pada Hella.
"Jadi tujuan mereka memecah belah suku di Indonesia?"
Hella menjawabnya dengan tegas.
"Ada kemungkinan. Tapi yang aku tau, mereka orang-orang yang berbeda suku tapi tujuan mereka tetap satu."
Dengan spontan Shintia bilang.
"Menghancurkan Kalimantan?"
Mitha kebingungan.
"Gimana nih jadinya?"
Shintia bilang ke mereka.
"Kita prioritaskan Celis dulu, soalnya dia yang terpenting."
Hella dengan ekspresi wajah yang jelek mengejek Shintia.
"Yang terpenting?"
Shintia menampar keras pipi Hella, dengan ekspresi wajah sedikit malu bilang.
"Aku lagi serius."
Hella pegang pipinya.
"Iya-iya, jadi gimana?"
Mitha menjawab.
"Aku punya keluarga yang bisa sembuhin"
Spontan mereka berkata.
"Beneran?"
"Beneran?"
"Iya, bentar aku tanyain dulu."
Mitha menelpon.
"Halo? Iya ini aku. Kakek ada? Aku mau ngobatin temen aku yang lukanya susah sembuh. Kakek bisa kan? Hmm... hmm... Okeyyy."
Mitha mematikan teleponnya, Shintia bertanya pada Mitha.
"Gimana bisa ga?"
"Bisa sih tapi jauh."
Hella ikutan bertanya.
"Sejauh apasih rumah kakekmu?"
"Di IKN."
"Aku belum pernah ke sana lagi."
Shintia tanya pada Hella.
"Kalau belum emang kenapa?"
"Niatnya pakai portal biar cepat tapi untuk gunakan portalku ga sembarangan. Aku harus tau tempatnya baru bisa langsung ke sana, kalau gatau bakal ke Tempat acak yang kita gatau."
Mitha menjawab Hella.
"Kalau gitu, kamu mau ga temenin aku ke sana. Soalnya ga mungkin, Kak Shintia yang ikut."
"Emang kenapa kalau aku ikut?"
"Kakak gamau jagain kak Celis?"
"Iya sih...."
Kemudian sesampainya di rumah Mitha. Hella tak sanggup berdiri karena lemas melihat kemegahan, kemewahan, keindahan, kekayaan dan besarnya rumah Mitha. Dalam hatinya berkata.
"DIA ANAK ORANG KAYAAAA!!!!!???"
Mitha menyeret motor merek CBR150R warna putih yang kemudian menghampiri Hella.
"Cuma motor ini yang dibolehin sama orangtua aku."
Dengan suara lemas Hella berkata.
"Cuma? artinya ada yang lain?"
"Iya, sebenarnya pengen pakai mobil McLaren atau ga Lamborghini tapi ga dibolehin."
Sejak saat itu, Hella merasa dirinya terinjak-injak oleh harta yang dimiliki keluarga Mitha. Setelah makan berdua, Mitha menelpon lagi.
"Halo... Iya kami udah di IKN nih. Iya. Hmm. Ga, sama temen aku. Berdua. Yaudah iya. Okeyyy."
Mitha mematikan teleponnya lalu Hella bertanya.
"Kapan kita berangkat?"
"Sekarang juga bisa sebenarnya, tapi kita jalan aja soalnya deket dari sini."
"Gitu ya, tunggu aku didepan aku mau ganti pakaian. Gerah banget pakai Hoodie."
"Iyaa."
Beberapa saat, Mitha terlihat cantik dengan penampilannya dan Hella mengenakan mantel gelap dengan dalaman kaos putih polos dan bawahan hitam.
Mitha memuji pakaian Hella yang terlihat cocok dengannya.
"Pakaianmu cocok banget sama kamu."
"Makasihh."
Mitha tersenyum manis kepadanya yang membuat Hella terkesan, dalam hatinya berkata.
"Manis juga ni anak kalau senyum. Tapi ya, wajar anak kaya. Aku mah apa, mantel ini aja punya Celis aku pinjem diam-diam."
Mereka berdua berjalan bersamaan, melewati rumah-rumahan disana dan memasuki gang kecil bernama "Gang Jenaka."
Mitha ngomong kepada Hella.
"Kak."
"Hmm?"
"Pernah pacaran ga?"
"Kenapa tiba-tiba bahas itu?"
"Gapapa sih. Temen-temen aku udah punya pacar semua bahkan saat aku SMP mereka udah pacaran. Aku kepo aja sih sebenarnya kekmana rasanya punya pacar gitu."
"Gitu ya? Jadi apa yang kamu iri kan sama mereka?"
"Asik aja gitu, apa-apa bisa berduaan. Ditemenin gitu."
"Kamu gapunya temen cewe yang Deket banget gitu?"
Mitha menggelengkan kepalanya.
"Mereka pura-pura jadi temen aku buat manfaatin uang aku aja."
"Kasiannya...kalau aku sih, daripada teman mending sahabat."
"Kenapa?"
"Teman tuh ga selama ada buat kita. Terkadang kita bisa datang saat mereka lagi kesusahan, tapi ga untuk kita. Orang yang disebut teman hanya akan bilang ke kamu. Ga peduli gua sama lo, mau lu jungkir balik kek, mau lo berak sambil pull up kek. Gada untungnya gua bantuin orang. "
Mitha merasa tidak nyaman dan terdiam tak bisa menjawab.
"Tapi ya... daripada mikirin untung apa ga nya, setidaknya kita berguna untuk orang lain. Aku sebenernya orang yang cepat bosenan, apapun aku lakukan menurutku bosan bakal ku tinggal. Contohnya kek sekarang, kapan kita sampainya? Katanya dekat?"
Mitha berhenti.
"ini udah sampai."
Rumahnya terlihat biasa-biasa saja, membuat Hella menghela nafas lega dan dalam hatinya berkata.
"Syukurlah, keluarganya ga sultan amat kek dia."
Mereka berdua terkejut ada yang menyambut.
"Mitha rupanya, aku kirain siapa. Cewe bawa cowonya jalan berduaan siang-siang gini."
Dia adalah perempuan rambut pendek yang terlihat dewasa dengan pakaian kotor.
"Kak Yuni?"
Yuni dan Mitha berlari dan memeluk satu sama lain. Hella melihatnya hanya terdiam batu.
"Kak Yuni habis ngapain?"
"Habis dari kebun."
Hella datang dengan kepercayaan dirinya.
"Kebun? tanam apa emangnya?"
"Tanam cabe aja kok."
"Kebun Sayuran ya kak?"
"Ga juga sih, kami punya pohon sawit, pohon durian, pohon rambutan, pohon mangga, tanam sayuran juga, sama ada pohon karet juga. Tuh, dibelakang ku."
Hella hanya berkata "Oh." dan didalam hatinya bilang.
"Minta kasih tau malah dikasih paham."
Mereka berdua di ruang tamu lalu jamu minum dan makanan oleh Yuni.
"Bentar ya, aku panggil kakek dulu."
"Iya kak."
Sesaat setelahnya, Kak Yuni bersamaan Kakeknya. Kakeknya duduk bersebrangan dengan mereka berdua.
Mitha mencium tangan kakeknya.
"Kakek sehat?"
"Sehat sentosa, ga pernah sakit kakek ini."
Hella berkata dalam hati.
"Kakek? Muda gini dibilang kakek? Lebih keliatan om-om umur belasan dibilang kakek."
Dia lebih berpenampilan seperti anak SMA yang baru lulus sekolah daripada kakek-kakek.
Kakek itu tertawa melihat muka Hella gelisah.
"Hahaha... Gausah melihat aku kek gitu. Aku kakeknya Mitha, Johan. Meski keliatan muda tapi umurku enam puluh tahun. Jadi, apa mau kalian datang kemari?"
Mitha menjelaskan tentang kejadian Celis dan bersamaan juga Hella berkomentar lagi dalam hatinya.
"Keluarga isinya stress semua."
Mitha selesai menjelaskan dan menyuruh Yuni mengambil sesuatu.
"Itu buruk. Kalau kalian pulang terlambat pasti fatal."
Hella menjawab.
"Soal itu gampang aja. Aku punya portal yang kapanpun bisa digunakan."
"?"
Kakek Johan baru menyadari keberadaan Hella.
"Ohiya, kamu pacarnya Mitha?"
"Bukan, cuma temen doang."
"Tapi keknya cocok tuh kalian berdua."
Candaan kakek Johan tidak membuat Hella tertawa bahkan tidak merasakan apapun dan hanya menjawab.
"Ga. Aku ga pantas untuknya."
Yuni datang menghampiri mereka dengan membawa satu kue temu kunci yang terlihat bulat dengan memiliki atena diatasnya. Namun berbeda dengan ukuran biasa, ukuran biasanya yang sering dijumpai hanyalah kecil-kecil seperti kelereng namun yang dibawa Yuni agak sedikit besar dari biasanya.
Itu diberikan kepada Kakek Johan yang ditaruh ke dalam botol tabung yang pas dengan ukurannya.
Ia menaruhnya ke meja lalu mulai merapal sihir.
Namun, tidak terdengar oleh mereka apa yang di ucapkan Kakek Johan. Kue di dalam itu bersinar kemudian sinarnya diserap oleh kue itu sendiri.
"Mitha, buatlah janji."
"Janji?"
"Ulangi kata-kata kakek aja."
Kakek Johan mengucapkan terlebih dahulu lalu disusul dengan Mitha yang ikut mengucapkannya.
"Aku berjanji, akan menyembuhkan, semua orang, dengan, penyakit apapun, asal, ga ada yang menderita lagi."
Setelah menyelesaikan kalimat tersebut.
Kakek Johan membuka tangannya lalu muncul sinar cerah bagaikan bola lampu itu melayang ke arah Mitha masuk ke dalam dadanya.
Mereka yang disana terkejut bahkan Yuni tidak menyangka akan hal itu terjadi.
Yuni menegur kakek.
"Apa yang kamu lakukan kek?!!"
Kakek Johan tersenyum tipis kepada Yuni.
"Gapapa, biarkan aja."
Mitha dengan polos menanyakan.
"Apa yang terjadi?"
"Itu bagian dari perjanjian kita untuk temanmu yang sakit."
Kemudian Mitha dan Hella ingin pulang, melambai kepada mereka berdua. Dengan berat hati Yuni melambai karena memikirkan kakeknya.
Sesaat mereka pergi berjalan pulang, Yuni menanyakan hal itu lagi kepada kakeknya.
"Kenapa kakek memberi kekuatan kakek kepadanya?"
"Ga masalah kan? Aku juga udah tua, keliatan muda berkat sihir kamu. Aku ga sepenuhnya ngasih ke dia, cuma setengah dari kekuatanku aja."
"..."
"Aneh-aneh ya zaman sekarang, dulu kakek perang lawan Belanda pakai bambu runcing. Sekarang ada sihir-sihir gini mungkin kakek udah lama mati cuma gara-gara bisa menyembuhin orang."
Yuni menyabarkan diri dengan bilang.
"Iya kurasa juga begitu."
"Betul kah? Artinya kamu mau kakek mati?"
Yuni panik mendengarnya.
"Bukan gitu kek."
Kakek Johan tertawa.
"Hahahaa...."
Tiba-tiba saat dia tertawa, dia batuk-batuk keras sampai berlutut. Kakek Johan menutup mulutnya mengunakan tangannya lalu saat dia selesai batuk, melihat ternyata dia batuk darah.
"Tuh kan, udah ku bilang."
Yuni berteriak tergesa-gesa membantu nya berdiri.
"Kakek!!!"
"Gapapa, aku pengen tiduran lagi dikamar ."
Kakek Johan meninggal Yuni tanpa sepatah katapun.
Disisi lain, Mitha dan Hella baru saja tiba di rumah. Mitha menanyakan.
"Kita kemana habis ini?"
"Pulang, kemana lagi emangnya?"
"Benar juga si..."
Mereka membawa tas mereka untuk pulang.
Hella menitipkan botol tabung yang berisi kue temu kunci untuk disimpan kan ke dalam tasnya.
"Kamu simpan ya."
"Iya."
Tiba-tiba tanpa sepengelihatan mereka kue temu kunci itu hilang entah kemana.
Mereka berdua terkejut melihatnya, Hella bingung.
"Eee~~Lahh!!???"
Melihat sekitar ternyata ada seseorang yang mengambilnya tepat ditangannya.
"Apa ini? Keliatannya enak, kalau dimakan dapat apa ya~?"
Hella mendengarnya logatnya terasa tidak asing dan tidak salah lagi.
"Dia orang Jawa!"
Pria dengan kulit sawo matang berambut hitam dengan berpakaian Skena sama seperti Ferra.
Dia merasa tidak asing dengan Hella.
"Kayaknya kita pernah ketemu dah?"
"Ketemu ga ketemu—"
Hella muncul di depannya.
"—Balikin. Ini punya gua, mas jawa."
Hella memegang botol tapi Dia menarik kembali botol bersamaan dengan pukulan kencang tak terlihat mata manusia memukul tepat diwajah Hella.
Hella tak bisa melakukan apapun karena Hella saja tidak melihat pergerakannya, akibatnya Hella terpental jauh sampai ke dinding rumah mereka sebelumnya. Dinding itu hampir rubuh karenanya.
"Pencuri brisik amat."
Hella bangkit dari dinding membalas ocehan Mas-mas Jawa.
"Yang curi siapa pencuri?"
Mitha kebingungan dengan apa yang terjadi, dia ketakutan dan berlari mencari tempat persembunyian.